Sutradara Chloe Zhao menghentak dengan keheningan paling hening dalam Film Nomadland, yang dirilis pada tahun 2020-an. Naskahnya ditulis oleh sang sutradara, yang mengadaptasi buku non-fiksi "Nomadland: Surviving America in the Twenty-First Century" karya Jessica Bruder. Dibintangi oleh Frances McDormand sebagai Fern, film ini berhasil meraih perhatian penonton dengan penggambaran yang kuat tentang kehidupan nomaden modern.
"Nomadland" mengikuti perjalanan seorang wanita bernama Fern (Frances McDormand), yang memilih hidup sebagai nomaden setelah kota kecilnya mengalami kebangkrutan ekonomi. Fern kehilangan pekerjaannya dan dengan penuh keberanian memulai perjalanan melintasi Amerika dalam van kecilnya. Dalam perjalanannya, Fern menghadapi pemandangan luas Amerika yang indah, tetapi juga mengalami kesendirian dan tantangan sebagai seorang nomaden.
Ulasan:
Salah satu kekuatan "Nomadland" adalah kemampuannya menyentuh tema universalnya, sehingga penonton dapat merasakan koneksi dengan tiap karakter-karakter, terlepas dari latar belakang atau pengalaman pribadi mereka.
Film ini mengajak penonton untuk merenung tentang arti kehilangan, adaptasi, dan bagaimana manusia dapat tumbuh melalui perubahan. Saat menonton "Nomadland" aku bisa merasakan perpaduan unik antara keindahan dalam landscape yang terbidik kamera, sekaligus merasakan sepi yang begitu sunyi atas kesendirian yang dialami Fern. Sinematografinya bikin, seolah-olah penonton melintasi lanskap Amerika yang luas. Namun, di balik keindahan itu, terdapat nuansa kesepian yang begitu sepi.
"Nomadland" yang hening dan sepi itu, pada dasarnya membicarakan keberanian untuk menjalani perubahan dan mencari makna hidup di tengah-tengah kesulitan. Melalui perjalanan Fern, film ini ingin mempertegas, bahwa kehidupan bukanlah garis lurus, tetapi seringkali melibatkan putaran yang nggak terduga. Kebebasan dan keberanian untuk memilih jalan yang berbeda dengan segala tantangannya.
Salah satu elemen yang mencolok dari "Nomadland" adalah pilihan sutradara untuk menggunakan kombinasi aktor profesional dan non-profesional (ada para nomaden nyata yang ikut serta bermain dalam film ini). Hal demikian menciptakan nuansa seperti ‘dokumenter dalam fiksi’.
Aku pun dihadapkan pada pemandangan Amerika yang luas dan indah, tetapi juga melihat sisi gelap dari kehidupan nomaden. Skripnya begitu terampil menggambarkan karakter Fern sebagai perempuan yang tangguh dan mandiri, tetapi juga menunjukkan lapisan emosionalnya yang dalam dan lagi-lagi ‘kesepian’.
Sementara film ini memiliki keindahan tersendiri, harus kuakui, naratifnya terasa lambat. Penonton yang suka film aksi nggak akan cocok dengan film ini. Ini, terlalu hampa, seperti menyesuaikan situasi batin karakter utama yang memang kesepian.
Film yang full drama, penuh dialog ini, pasti hanya akan dianggap angin lalu. Terlepas aku pun butuh waktu untuk benar-benar menyelesaikannya, tetapi yang jelas, apa-apa yang ditampilkan pada dasarnya memukau, tetapi anehnya, ‘hanya bisa dinikmati segelintir orang’. Ya, aku paham dengan keputusan sutradara, yang lebih fokus pada pendekatan realistis ketimbang membubuhkan dramatisasi.
Kamu tahu, dari segala hal positifnya, terbukti "Nomadland" berhasil memetik beragam penghargaan prestisius sepanjang perjalanannya. Dalam panggung Academy Awards, film ini memenangkan kategori: Film Terbaik, Sutradara Terbaik, dan Aktris Terbaik. Kesuksesan ini pun berlanjut di Golden Globe Awards, di mana film ini meraih penghargaan Film Drama Terbaik dan Sutradara Terbaik.
Nggak ketinggalan, BAFTA Awards juga menandai prestasi gemilang "Nomadland" dengan memberikan penghargaan: Film Terbaik dan Sutradara Terbaik. Demikian pula, Critics' Choice Movie Awards memberikan pengakuan yang layak dengan kemenangan dalam kategori: Film Terbaik, Sutradara Terbaik dan Aktris Terbaik.
Semua penghargaan itu mencerminkan keunggulan dalam berbagai aspek, mulai dari penyutradaraan hingga penampilan aktingnya. Maka Skor dariku: 7/10. Hah, hanya segitu skor dariku? Ya, aku termasuk yang kesulitan mengikuti kisahnya, tetapi faktanya, dari analisis subjektif, filmnya memang memancarkan pesonanya yang khas (alias nggak semua penonton dapat menerimanya). Kamu mau nonton film ini? Jangan lupa sambil ngopi, ya!
Baca Juga
-
Ketika Horor Thailand Mengusung Elemen Islam dalam Film The Cursed Land
-
Review Film Laut Tengah: Ketika Poligami Jadi Solusi Menggapai Impian
-
Krisis Iman dan Eksorsisme dalam Film Kuasa Gelap
-
Kekacauan Mental dalam Film Joker: Folie Deux yang Gila dan Simbiotik
-
Sinopsis Film Bolehkah Sekali Saja Kumenangis, Kisah Haru Terinspirasi dari Lagu
Artikel Terkait
-
3 Film Korea yang Dibintangi Song Kang Ho, Ada Sporty hingga Mendebarkan
-
4 Rekomendasi Film yang Dibintangi Jake Gyllenhaal, Terbaru Ada Road House
-
Ulasan Film Raatchasan: Mengungkap Pelaku Pembunuh Berantai Para Remaja
-
Ulasan Film The Blackout: Pemadaman Listrik Misterius di Seluruh Bumi
-
Dibalik Bingkai Gelar Festival Dokumenter Lumbung Sinema: Palaka Loka Sampada
Ulasan
-
Ulasan Buku Insecurity is My Middle Name: Refleksi tentang Penerimaan Diri
-
4 Toko Kain Lokal Terbaik, Temukan Kain Impianmu di Sini!
-
Ulasan Buku Hal-Hal yang Boleh dan Tak Boleh Kulakukan, Kunci Hidup Bahagia
-
Ulasan Film Raatchasan: Mengungkap Pelaku Pembunuh Berantai Para Remaja
-
Ulasan Buku 'Seseorang di Kaca', Refleksi Perasaan terhadap Orang Terkasih
Terkini
-
Liam Payne Dimakamkan Pekan Ini, Ada Lagu Penghormatan dan Dihadiri Seleb
-
Jadi Biksu Superstar, Ini Karakter Lee Seung Gi di Film Korea About Family
-
Badai Cedera Timnas Indonesia Kian Parah, Skuad Garuda Tak Full-skuad Lawan Jepang?
-
Laga Indonesia vs. Jepang: Ajang Pembuktian Shin Tae-yong ke Fans Garuda
-
3 Drama China Dibintangi Dai Jing Yao, Ada Passionate Love After Marriage