Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Athar Farha
Foto Film Kurban: Budak Iblis (Lembaga Sensor Film Republik Indonesia)

"Kurban: Budak Iblis" adalah film horor Indonesia yang ‘agak laen’, ya. Disutradarai oleh Findo Purwono Hw dan diproduseri oleh Bunty Bedi serta Rheina Mariyana. Sementara itu, Rebecca M. Bath sebagai penulis skripnya, yang juga disokong rumah produksi Seven Sky Picture dan Dewi Cinema. 

Cerita ‘Film Kurban: Budak Iblis’ menyoroti perjuangan Bella (Adila Fitri), ibunya, Dewi (Inggrid Widjanarko), dan adiknya, Dio (Benzema) yang terpaksa pindah ke Bandung. Mereka berharap untuk memulai kehidupan baru di rumah milik Purnomo (Egy Fadly). Namun, kebahagiaan mereka terganggu oleh serangkaian mimpi buruk yang terus menghantui Bella. Ketakutan dan rasa ingin tahu memacu Bella untuk menyelidiki lebih dalam asal-usul mimpi tersebut, dan kemudian menemukan bahwa Purnomo (ayahnya) menyimpan rahasia yang mengerikan. Kebetulan ada cowok bernama Rama (Alexander Akbar) yang tinggal di depan rumah mereka. Rama pun mencoba menolong Bella dan keluarganya. 

Ulasan:

Film merupakan salah satu bentuk seni yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi emosi, pemikiran, dan persepsi penontonnya. Dari poster yang terlihat ‘gaje + norak’ hingga trailer yang mengundang tawa, yang padahal seharusnya bikin ngeri dan kepo, rasa-rasanya keputusan menonton film ini sangat membutuhkan kesabaran sekuat baja.

Ya, kayaknya aku berlebihan, tapi memang, rasa penyesalan yang mendalam menghantuiku berkali-kali lipat setelah menontonnya. Mending duit tiketnya buat beli bakso dua mangkuk dan es teh, eh.

Aku menyaksikan sebuah film yang sejak awal sudah aku prediksi akan sangat mengecewakan. Terus kenapa aku tetap nonton? Karena nggak mau berprasangka buruk. Sayangnya, prasangkaku seringnya tepat. Huft!

Aku merasa para bintangnya terkurung dalam naskah yang amatiran, dengan akting yang nggak beda jauh dengan drama sinetron. Ya, beginilah pengalamanku menonton film horor lokal, yang lagi-lagi bikin dompetku gersang. Di sinilah aku semakin paham, pentingnya sebuah naskah yang kuat dalam menyampaikan cerita secara efektif kepada penonton, biar penonton nggak sedih-sedih amat kalau nggak sesuai ekspektasi. 

Boleh, kan, berharap untuk merasakan sensasi ketegangan dan ketakutan yang otentik dalam sebuah film horor? Tentu boleh. Namun, faktanya efek jumpscare yang dihadirkan ternyata nggak efektif dan kurang membangkitkan gejolak ketegangan. Hal ini menunjukkan bahwa penyampaian elemen horor dalam filmnya nggak mencapai tingkat yang diharapkan. Horor yang berhasil nggak hanya menciptakan ketegangan dan ketakutan dalam diri penonton, tetapi juga membangun atmosfer yang menghantui dan mengganggu.

Meskipun cerita dan eksekusinya meleset, setidaknya film ini masih menawarkan tampilan visual yang bisa ditolerir. Biarpun begitu, aku masih tetap berkeyakinan terkait potensi industri film dari Indonesia (terutama horor) akan selalu berkembang dan memberikan pengalaman yang lebih baik ke depannya. Semoga yang baca nggak resah dan julid karena ini adalah bentuk kecintaanku pada perfilman Indonesia. Skor dariku: 1/10 karena kecewa tingkat dewa! Selamat menonton, ya.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Athar Farha