Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Kholil Rohman
Buku Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia (doc/M. Kholilur Rohman)

Mengutip perkataan Nelson Mandela (mantan presiden Afrika Selatan) yang berbunyi: "Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia". 

Statement di atas menunjukkan urgensi pendidikan sebagai wadah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal itu pula yang diupayakan Haidar Bagir dalam bukunya yang berjudul Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia

Buku terbitan Mizan tahun 2019 ini membuka lebar-lebar mata pembaca tentang pendidikan, khususnya yang berhubungan dengan pendidikan di Indonesia. Meski sudah berumur sekitar 5 tahun, buku ini masih tetap relevan untuk dijadikan bahan bacaan dan tambahan pengetahuan bagi siapapun, khususnya kalangan para akademisi. 

Buku besutan pengurus yayasan Lazuardi ini hadir dengan jumlah halaman sebanyak 217 yang terbagi menjadi tiga bab besar. Bab pertama membahas "Falsafah Pendidikan", bab kedua tentang "Konsep dan Metode Pendidikan", dan bab terakhir seputar "Falsafah Pendidikan Islam". 

Dari tiga bab di atas, penulis berusaha menjelaskan dan menjawab keresahan tentang kerancuan tujuan pendidikan, kesalahpahaman atas hakikat kemanusiaan sebagai subjek pendidikan, kekaburan tentang hakikat proses belajar, dan kemiskinan metode belajar-mengajar. 

Tak heran jika diksi judul yang berbunyi "Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia" menunjukkan bahwa masih ada penyakit yang mengidap di tubuh pendidikan kita. Penyakit yang tanpa disadari menggerogoti proses dan hasil pendidikan itu sendiri. 

Secara umum, bagi saya, buku ini berusaha menjelaskan tentang bagaimana hakikat tujuan pendidikan yang diturunkan menjadi beberapa aspek: cara pandang, metode, regulasi, dan konsep yang harus dipahami oleh para pengelola lembaga pendidikan. 

Mengingat pendidikan bukanlah sekadar pengembangan kompetensi vokasional, apalagi jika istilah ini dipahami secara sempit sebagai sekadar keterampilan-keterampilan praktis, maupun kompetensi akademis dalam bentuk kemampuan berpikir logis-analitis dan kemampuan mereka melakukan penelitian – sepenting apapun keduanya dalam menentukan kesejahteraan hidup manusia. 

Lebih jauh lagi, Alumni S3 Jurusan Filsafat Universitas Indonesia (UI) itu ingin memberikan pemahaman yang seimbang antara pendidikan yang menyenangkan dan mencerdaskan. Mengingat diksi menyenangkan dan mencerdaskan seolah-olah membentuk kubu yang bertentangan. 

Di satu sisi, pendidikan yang menyenangkan otomatis membuat anak atau siswa merasakan bahagia dalam setiap proses belajar mereka. Hal ini bukan berarti mereka diberikan kebebasan yang bisa mengaburkan usaha-usaha serius yang seharusnya dilakukan dalam menuntut ilmu. Perasaan senang belajar ini tentu berhubungan erat dengan faktor emosi. 

Daniel Goelman dalam bukunya yang fenomenal, Emotional Intelligence, menyatakan “Kecerdasan emosional kita menentukan potensi kita untuk belajar keterampilan praktis. Kompetensi emosional kita menunjukkan berapa banyak potensi kita yang telah diaplikasikan menjadi kemampuan yang bisa diapaki saat bekerja”. 

Di sisi lain, pendidikan yang mencerdaskan tidak selalu identik dengan banyaknya tugas yang sampai tergolong berlebihan, terlalu ketatnya regulasi, termasuk terlalu kakunya proses pembelajaran. 

Narasi diatas terwakilkan dengan adanya kutipan dari George Bernard Shaw yang menjelaskan fakta pendidikan kita saat ini. Bahwa pendidikan kita dipandang kurang memberikan nuansa menyenangkan dalam proses belajarnya. 

"Bukan anak mengejar pengetahuan, melainkan pengetahuan yang mengejar anak”, sampai si anak terengah-engah. Lalu anak, merasa bahwa belajar itu melelahkan. Sebagai akibatnya, mereka justru kehabisan waktu dan tenaga untuk mengembangkan kreativitas, keterampilan riset, dan kemampuan reflektif. 

Sehingga, dari dua keadaan di atas, penulis ingin menyadarkan pembaca tentang kohesi dan koherensi antara pendidikan yang menyenangkan dan pendidikan yang mencerdaskan. Bahwa dua fokus tersebut tidak harus membatalkan satu sama lain. Namun bisa berjalan beriringan untuk menghasilkan proses dan hasil pendidikan yang maksimal. 

Terakhir, buku ini disusun secara sistematis dengan bahasa yang mudah dijangkau banyak kalangan. Sehingga, buku ini sangat rekomendasi bagi siapapun, khususnya kalangan para akademisi.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Kholil Rohman