Pernah merasa kalau hidup ini penuh dengan teka-teki yang jawabannya baru kamu sadari setelah segalanya terjadi? Buku 100 Things I Wish I Knew Earlier karya Grace Tahir, Fen, dan Jacqueline Karina seperti teman baik yang berbagi cerita dan mengatakan, “Hey, aku pernah salah langkah di sini, semoga kamu tidak mengalami hal yang sama.”
Dari halaman pertama, buku ini seperti mengajak pembaca untuk berbicara santai tentang pelajaran hidup yang sering kali datang terlambat. Tentang bagaimana kita sering menganggap kegagalan itu memalukan, padahal sebenarnya itu bagian dari proses.
Di sini, penulis seolah mengatakan kalau jatuh itu wajar, yang penting kita tahu cara bangkit dan tidak terlalu keras pada diri sendiri.
Buku ini juga mengajari soal sabar menghadapi hidup. Kamu tahu, kan, rasanya kalau lihat orang lain udah jauh di depan?
Tapi buku ini dengan lembut mengingatkan kalau kita semua punya waktunya masing-masing. Ada yang cepat, ada yang lambat, dan semuanya tak apa-apa. Jangan lupa untuk menikmati setiap kemenangan kecil di sepanjang jalan, sekecil apa pun itu.
Salah satu hal lain yang berkesan pada buku ini adalah pesan soal keseimbangan. Hidup sering membuat kita sibuk sampai lupa buat istirahat, apalagi meluangkan waktu untuk diri sendiri.
Seolah alarm pengingat kalau kebahagiaan tak hanya soal kerja keras, tapi juga soal menjaga harmoni antara karier, keluarga, dan waktu untuk dirimu sendiri.
Dan ya, ada bagian yang paling menyentuh tentang cinta dan penyembuhan. Siapa yang tak pernah merasakan terluka?
Terkadang, luka membuat kita merasa lemah. Tapi buku ini mengatakan kalau cinta itu perjalanan, bukan garis finish. Begitu juga penyembuhan, tak ada yang instan, semuanya perlu waktu dan usaha.
Membaca buku ini rasanya seperti berbincang dengan seseorang yang sudah banyak makan asam garam kehidupan. Tak terkesan menggurui, malah lebih seperti mendengar curhatan yang membuka mata.
Setiap pelajaran di dalamnya adalah pengingat kalau hidup memang tidak sempurna, tapi itu justru yang membuat semuanya bermakna.
Kalau kamu sedang butuh perspektif baru tentang hidup, buku ini bisa jadi teman yang pas. Tidak perlu buru-buru selesai membacanya, karena setiap halamannya mengajak kita berhenti sejenak, merenung, dan mungkin tersenyum sambil mengatakan, “Ah, benar juga, ya.”
Buku ini layaknya hadiah kecil untuk diri sendiri, pengingat bahwa hidup, dengan segala lika-likunya, selalu layak dijalani.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Ketika Pekerjaan Sulit Dicari, tapi Janji Politik Mudah Diberi
-
Review Novel 'Kotak Pandora': Saat Hidup Hanya soal Bertahan
-
Review Novel 'Totto-chan': Bukan Sekolah Biasa, Tapi Rumah Kedua Anak-anak
-
Benarkah 'Kerja Apa Aja yang Penting Halal' Tak Lagi Relevan?
-
Review Novel 'Jane Eyre': Ketika Perempuan Bicara soal Harga Diri
Artikel Terkait
-
Novel Built to Last: Dua Mantan Bintang Anak-Anak yang Bertemu Kembali
-
Cermin Surga dan Neraka dalam Buku Cerpen Senandung Cinta dari Pesantren
-
Proses Kreatif Para Pengarang dalam Buku Aku Menulis Maka Aku Ada
-
Buku Simple Thinking: Menyelesaikan Masalah dengan Cara Berpikir Praktis
-
Kamatian Patut Dirayakan dalam Buku Ikan-Ikan dari Laut Merah Karya Danarto
Ulasan
-
Ed Sheeran Wakili Perasaan Orang yang Dimabuk Asmara dalam Lagu Shivers
-
Liburan Singkat di Lampung, Menikmati Keindahan Pasir Putih Pulau Tangkil
-
Review Novel Sendiri Tere Liye: Sebuah Perjalanan Menyembuhkan Luka Kehilangan
-
Film Audrey's Children, Kisah di Balik Terobosan Pengobatan Kanker Anak
-
Ulasan Novel The Pram: Teror Kereta Bayi Tua yang Menghantui
Terkini
-
Fenomena Unpopular Opinion: Ajang Ujaran Kebencian di Balik Akun Anonim
-
Redaksi Project: Inisiasi Tiga Wanita Menyemai Cinta Literasi di Bangka
-
Skuad Indonesia di Malaysia Masters 2025, Tanpa Wakil Ganda Putra
-
Amalia Prabowo Terpilih sebagai Ketua Harian KAFISPOLGAMA 20252029
-
Thailand Open 2025: Juara Baru Lahir, Timnas China dan Malaysia Sabet Dua Gelar