Scroll untuk membaca artikel
Sekar Anindyah Lamase | Sabit Dyuta
Novel Senja di Jakarta (Gramedia Digital)

Bagaimana jika sebuah kota tidak hanya menjadi tempat tinggal, tetapi juga cerminan dari ambisi, ketidakadilan, dan kepalsuan yang menggerogoti masyarakatnya? 

Jakarta, sebagai ibu kota yang penuh hiruk-pikuk, menjadi latar bagi berbagai intrik dan permasalahan sosial dalam novel "Senja di Jakarta" karya Mochtar Lubis

Novel ini tidak sekadar menceritakan kehidupan individu, tetapi juga menyingkap realitas sosial dan politik yang membentuk wajah kota besar ini pada era 1950-an.

Dalam novel ini, korupsi menjadi salah satu tema utama yang mendominasi alur cerita. Politik dijadikan alat untuk memperkaya diri oleh mereka yang berkuasa, sementara rakyat kecil hanya menjadi penonton yang tak berdaya.

Karakter Raden Kaslan, seorang politisi yang menggunakan posisinya untuk mengumpulkan dana dengan cara-cara tidak etis, mencerminkan betapa korupsi telah mengakar dalam sistem pemerintahan. 

Kekuasaan bukan lagi tentang mengabdi kepada rakyat, tetapi menjadi sarana untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.

Di sisi lain, novel ini juga menggambarkan kesenjangan sosial yang begitu tajam. Di tengah kehidupan mewah para pejabat dan pengusaha, terdapat kaum miskin yang berjuang sekadar untuk bertahan hidup.

Saimun dan Itam, dua pemulung dalam cerita ini, adalah gambaran dari mereka yang terus terpinggirkan. Kesulitan hidup yang mereka hadapi menjadi bukti bahwa kesejahteraan tidak merata, dan kemajuan kota justru semakin memperlebar jurang antara kaya dan miskin.

Kemerosotan moral juga menjadi aspek penting dalam novel ini. Hubungan asmara yang penuh pengkhianatan, ketidakpedulian terhadap nilai-nilai etika, serta gaya hidup yang berorientasi pada kesenangan pribadi menjadi cerminan dari perubahan sosial yang terjadi. 

Suryono, tokoh yang berasal dari keluarga terpandang, terjerat dalam berbagai skandal yang menunjukkan betapa moralitas bisa luntur ketika dihadapkan pada godaan duniawi.

Realitas yang digambarkan dalam Senja di Jakarta masih relevan hingga kini. Korupsi masih menjadi persoalan besar, kesenjangan sosial tetap mencolok, dan tantangan moralitas semakin kompleks.

Mochtar Lubis menghadirkan potret yang tajam tentang bagaimana sebuah kota besar tidak hanya menjadi pusat kemajuan, tetapi juga menyimpan banyak ironi di dalamnya.

Lebih dari sekadar cerita, "Senja di Jakarta" merupakan pengingat bahwa perubahan sosial membutuhkan kesadaran dan tindakan nyata dari semua lapisan masyarakat.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Sabit Dyuta