Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Athar Farha
Poster Pee-wee as Himself (IMDb)

Pee-wee Herman bisa dibilang sebagai sosok yang aneh tapi memesona, dengan jas abu-abu, dasi kupu-kupu merah, dan tawa khas yang sulit dilupakan. Namun, seperti banyak orang, kebanyakan pasti mengenalnya hanya sebatas karakter. 

Siapa sebenarnya pria di balik suara cempreng dan kejenakaan teatrikal itu? Pertanyaan itulah yang jadi dasar dari dokumenter dua episode dengan total durasi ±195 menit, berjudul: ‘Pee-wee as Himself’, garapan Sutradara Matt Wolf dengan dukungan tim kreatif yang di antaranya: Emma Tillinger Koskoff, Lisa Heller, dan Nancy Abraham, serta tentu saja Safdie Brothers yang bertindak sebagai produser eksekutif lewat rumah produksi Elara Pictures sebagai bagian dari koleksi HBO Documentary Films.

Sekilas tentang Pee-wee as Himself 

Dokumenter yang tayang di Max sejak 23 Mei 2025, kisahnya cuma satu. Yakni tentang Paul Reubens, sang pencipta sekaligus pemeran karakter Pee-wee Herman. Itu saja, tapi ini nggak cuma menyorot masa kejayaan karakter Pee-wee Herman, tapi lebih seperti upaya tulus yang cukup intens untuk mengenal Paul Reubens. Jadi, apa sih yang membuatnya menarik buat Sobat Yoursay masukkan daftar tonton? Sini simak lebih lanjut!

Impresi Selepas Nonton Pee-wee as Himself

Yang bikin dokumenter ini istimewa tuh, terkait suara narasi Reubens yang muncul di dokumenter adalah rekaman terakhirnya sebelum wafat (Juli 2023), direkam sehari sebelum meninggal karena kanker paru-paru—penyakit yang dia rahasiakan.

Bahkan, terkait terungkapnya fakta, yang rupanya Paul Reubens sendiri nggak selalu nyaman menjadi pusat perhatian. Selama hidupnya, dia lebih senang bersembunyi di balik sosok Pee-wee Herman, dan ketika kamera diarahkan untuk menggali siapa dirinya yang sesungguhnya, aku bisa melihat tarik-ulur emosional yang cukup kuat.

Matt Wolf memulai proyek ini dengan wawancara bersama Paul Reubens dan akses penuh ke arsip pribadi yang berisi foto-foto masa kecil, video dari tahun-tahun awal karirnya, hingga memorabilia yang belum pernah dilihat publik sebelumnya. 

Melalui rekaman-rekaman ini, aku diajak menyusuri kehidupan Reubens sejak masa kecilnya di New York, kecintaannya pada komedi dan sirkus, hingga perjalanannya menembus dunia hiburan di Los Angeles. Dia bergabung dengan grup komedi The Groundlings (tempat lahirnya karakter Pee-wee Herman)

Dari sana, Paul Reubens membangun karakter Pee-wee sebagai figur slapstick dengan selera humor yang seperti keluar dari zaman vaudeville, tapi diberi sentuhan pop khas California tahun ‘80-an. 

Keberhasilan ‘The Pee-wee Herman Show’ di panggung dan penayangannya di HBO pada tahun 1981 membuka jalan buat Film Pee-wee’s Big Adventure (1985) yang disutradarai Tim Burton. Kejutannya, film itu jadi debut panjang Tim Burton sekaligus batu loncatan penting buat Paul Reubens. Kesuksesan itu kemudian dilanjutkan dengan Series Pee-wee’s Playhouse di CBS, yang akan itu booming. 

Selain menggali ketidaknyamanan Paul Reubens, dokumenter ini juga nggak segan menggali sisi gelap dari perjalanan karirnya. Ada luka yang belum sepenuhnya sembuh dari skandal yang menimpanya pada 1991, saat dia ditangkap karena indecent exposure di bioskop dewasa (insiden yang langsung menghapus nama Pee-wee dari layar kaca). 

Paul Reubens, dalam wawancaranya, nggak selalu mau membahas ini secara terbuka, tapi ketegangan dalam ucapannya, jeda panjang sebelum menjawab, dan raut wajah yang tertahan justru lebih bercerita dari apa pun. 

Pada 2002, dia kembali tersandung kasus hukum yang berkaitan dengan koleksi barang seni erotik vintage, yang kemudian dibersihkan dari tuduhan serius. Dan bayang-bayang suram itu tetap membekas dalam dirinya.

Selama nonton, aku merasa kayak lagi menyaksikan seseorang yang belajar berdamai dengan masa lalunya—perlahan, hati-hati, tapi nggak benar-benar keseluruhan dibuka ke publik. Ya, Paul Reubens tetap menjaga batas, bahkan ketika dia menceritakan bagaimana dirinya selama bertahun-tahun hidup dengan menyembunyikan orientasi seksualnya dari publik karena takut merusak karir. 

Yang jelas, aku melihat film ini bukan bentuk pengakuan, tapi sebagai kompromi yang Paul Reubens buat dengan dirinya sendiri dan penonton. 

Nggak seperti dokumenter lain yang sering terjebak dalam glorifikasi tokoh, film ini terasa lebih jadi perenungan batin dari sosok seniman yang kompleks. Ya, dia nggak sempurna, dan film ini nggak berusaha menutupi itu. Sebaliknya, justru dari ketidaksempurnaan itu aku menemukan kemanusiaan dalam diri Paul Reubens, yang selama ini terkubur sama tawa dan absurditas karakternya (Pee-wee Herman).

Di akhir dokumenter, ada momen ketika Reubens menyunggingkan senyum kecil saat menyebut nama Pee-wee Herman. Bukan senyum sinis atau getir, tapi seperti pelukan diam-diam untuk karakter yang telah membentuk hidupnya. 

Skor: 3,5/5

Athar Farha