Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Davina Aulia
In The Hands of A Mischievous God (Goodreads.com/In The Hands of A Mischievous God)

In The Hands of A Mischievous God adalah karya debut dari Theodora Sarah Abigail, penulis Indonesia yang dikenal lewat esai-esai puitis dan reflektifnya. Buku ini diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2021, dan lebih tepat disebut sebagai kumpulan esai personal ketimbang novel fiksi.

Namun, bagian menariknya, justru terletak pada narasi yang dibangun dengan gaya literer yang menyerupai kisah, mengalir seperti prosa dan menyentuh seperti puisi.

Melalui tulisan ini, Theodora membuka sisi-sisi paling rawan dari dirinya, soal tubuh, trauma, penyakit, iman, seksualitas, dan pencarian jati diri. Buku ini adalah cermin dari pergulatan batin seorang perempuan muda yang tumbuh dalam keluarga Kristen konservatif, dengan tubuh yang ia anggap “rusak”, dalam dunia yang sering kali menolak keberadaannya.

Tidak seperti novel konvensional yang memiliki alur linear, In The Hands of A Mischievous God terdiri dari 22 esai yang berdiri sendiri namun saling terhubung secara tematik. Esai-esai ini ditulis dalam gaya naratif personal yang sangat intim dan jujur. Theodora bercerita tentang pengalamannya mengidap penyakit autoimun yang memengaruhi tubuh dan mentalnya, serta bagaimana hal itu membuatnya merasa terasing dari dunia dan agamanya sendiri.

Ia mengulas masa kecilnya, hubungannya dengan ibunya, juga perjuangannya memahami tubuhnya yang sakit dalam konteks teologi, relasi sosial, dan keinginan akan cinta. Dalam beberapa bagian, ia menyelami pengalaman traumatis, seperti hubungan penuh tekanan, tubuh yang dipolitisasi, dan keinginan untuk mati. Namun di balik kelamnya tema, selalu ada sinar refleksi dan keinginan untuk terus hidup.

Tokoh sentral dalam buku ini adalah Theodora sendiri. Ia bukan tokoh fiksi, melainkan sosok nyata yang menghadirkan dirinya secara utuh, tidak sempurna, penuh luka, dan sedang berproses. Di balik keterusterangannya, ia juga menunjukkan kerentanan dan kekuatan yang luar biasa.

Karakter lain yang muncul adalah ibunya, keluarga, pasangan, dan figur-figur dari masa lalu yang tidak selalu disebutkan namanya, tetapi memiliki pengaruh besar dalam hidupnya. Meskipun mereka hadir secara tidak langsung, setiap kehadiran itu memiliki bobot emosional yang dalam.

Bagian Menarik dari Buku

Bagian menarik dari buku In The Hands of A Mischievous God adalah gaya tulisannya yang lirikal, nyaris seperti puisi. Kalimat-kalimatnya tajam, sarat makna, namun tetap indah dan menyentuh. Theodora menulis dengan kejujuran. Ia menyentuh tema-tema yang sering kali dianggap tabu, seperti seksualitas, bunuh diri, keraguan iman, dan trauma tubuh tanpa bermaksud provokatif, melainkan karena memang itu bagian dari kenyataan hidupnya.

Gaya bahasa yang kontemplatif membuat pembaca merasa seolah sedang membaca doa atau surat panjang yang belum pernah dikirim. Buku ini mengajak pembaca tidak hanya memahami isi kepala penulis, tetapi juga ikut menyelami batin dan spiritualitasnya.

Selain gaya penulisannya yang menarik, keberanian Theodora dalam menantang batas antara pengalaman personal dan wacana sosial yang lebih luas. Ia tidak hanya menuliskan penderitaan tubuh sebagai sesuatu yang individual, melainkan juga memperlihatkannya sebagai medan politik dan teologis.

Melalui tubuhnya yang sakit, ia mengkritik struktur keimanan yang sering kali tidak ramah terhadap keraguan dan ketidaksempurnaan. Ia mengangkat pertanyaan-pertanyaan tajam seperti, apakah Tuhan masih mencintai tubuh yang rusak? Apakah iman harus selalu kuat? Dalam hal ini, tulisan Theodora melampaui pengakuan pribadi dan menjadi semacam narasi kolektif bagi mereka yang merasa berada di pinggiran, yaitu perempuan, penyintas, orang sakit, dan mereka yang kehilangan tempat dalam sistem yang serba pasti.

Buku In The Hands of A Mischievous God adalah bacaan yang memberikan pertanyaan-pertanyaan tentang hidup, iman, tubuh, dan bagaimana kita bertahan di tengah rasa sakit yang tak kasat mata. Bagi pembaca yang mencari kejujuran, keberanian, dan keindahan dalam luka, buku ini adalah pelukan yang lirih dan menguatkan. Theodora Sarah Abigail menulis bukan untuk menggurui, tetapi untuk menemani, dan itulah yang membuat buku ini begitu istimewa.

Davina Aulia