Saksi Mata merupakan buku kumpulan cerita pendek karya Seno Gumira Ajidarma yang 16 cerita. Buku ini terbit pertama kali pada tahun 1994 oleh Penerbit Bentang Budaya dan mendapat Penghargaan Penulisan Karya Sastra 1995 dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Cerita-cerita dalam buku Saksi Mata ini dibacakan di Teater Arena Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Sabtu (19/10/1994), dengan pembaca Chairul Umam (Saksi Mata), Deddy Mizwar (Listrik), Renny Djajoesman (Klandestin), dan Niniek L. Karim (Telinga).
Sementara di Purna Budaya, Yogyakarta, Senin (30/1/1995), Butet Kartaredjasa membacakan cerpen Misteri Kota Ningi, Joko Kamto membacakan Saksi Mata, Landung Simatupang membacakan Salvador dan Maria, dan Nunik T. Haryani membacakan Telinga. Pada acara kedua ini, Seno Gumira Ajidarma membacakan cerpen bertajuk Salazar.
Kisah-kisah dalam buku Saksi Mata ini ditulis berdasarkan pemberitaan mengenai insiden Dili yang sempat membuat penulis dilepaskan untuk sementara dari tugasnya sebagai redaktur pelaksana Jakarta. Ke-16 kisah yang terdapat dalam buku ini menyuguhkan cerita tentang kekejaman dan derita manusia, yang melampaui batas nalar. Telinga manusia dijadikan hadiah, mata dijadikan bahan sup, dan kisah-kisah tragis lainnya.
Dalam perjalanan cerita, dapat disaksikan bagaimana keadilan tampak semakin jauh dari jangkauan. Hakim berusaha mempertahankan wibawa di tengah kekacauan, tetapi situasinya semakin tidak terkendali. Penulis menyoroti kegagalan sistem hukum yang seharusnya melindungi dan menegakkan keadilan, tetapi justru terjebak dalam formalitas yang absurd. Proses hukum menjadi tontonan, di mana substansi keadilan dipertanyakan.
Lewat Saksi Mata pembaca diajak untuk merenungi realitas sosial dan hukum melalui kacamata satir. Dengan humor yang gelap, penulis menyampaikan pesan bahwa keadilan seringkali terabaikan dalam keramaian, sementara masyarakat lebih suka terlibat dalam drama daripada mencari kebenaran.
"Saudara Saksi Mata."
"Saya, Pak."
"Di mana mata Saudara?"
"Diambil orang, Pak."
"Diambil?"
"Saya, Pak."
"Maksudnya dioperasi?"
"Bukan, Pak. Diambil pakai sendok."
"Haaa? Pakai sendok? Kenapa?"
"Saya tidak tahu kenapa, Pak, tapi katanya mau dibikin tengkleng (sup tulang-belulang kambing)." (Halaman 3).
Di akhir cerita, ketika Saksi Mata kembali bermimpi dan kehilangan lidahnya, pembaca diingatkan bahwa dalam pencarian keadilan, kita mungkin kehilangan lebih dari sekadar penglihatan; mungkin kehilangan suara dalam kerumunan yang gaduh.
Ketika hari sudah menjadi malam, Saksi Mata yang sudah tidak bermata itu berdoa sebelum tidur. Ia berdoa agar kehidupan di dunia yang fana ini baik-baik saja adanya agar segala sesuatu berjalan dengan mulus dan semua orang berbahagia.
Pada waktu tidur lagi-lagi ia bermimpi, lima orang berseragam ninja mencabut lidahnya. Kali ini menggunakan catut. (Halaman 10).
Buku berisi 16 cerpen thriller yang menggambarkan kekerasan dan penyiksaan oknum aparat negara ini, menggunakan kosa kata yang nyastra banget tapi masih mudah dipahami. Ditambah ada sketsa-sketsa yang terlihat menyeramkan, namun punya makna yang mendalam.
Dari cerpen Saksi Mata ini kita digiring ke sebuah suasana pengadilan yang seram lantaran didatangi oleh Saksi Mata yang tanpa mata. Matanya dicongkel pakai sendok oleh segerombolan orang berseragam hitam mirip ninja. Namun, si Saksi Mata tetap berusaha kuat hadir ke pengadilan demi menyuarakan kebenaran dan menegakkan keadilan.
Cerpen lain yang saya suka dalam buku ini berjudul Telinga. Dikisahkan seorang lelaki yang sedang berperang kerapkali mengirimkan potongan telinga dari orang-orang yang ia curigai kepada pacarnya lewat Pos. Telinga-telinga itu masih segar dan meneteskan darah. Digantungnya telinga-telinga tersebut di seluruh ruangan rumah Dewi si pacar dan lantainya terus basah oleh darah.
Sambil mengepel lantai, Dewi suka memandang telinga-telinga yang suka bergerak-gerak itu. Telinga-telinga itu bagaikan antena yang mampu menangkap pesan apa pun yang bertebaran di udara.
Barangkali ia pernah mendengar sesuatu yang tak boleh diketahuinya, pikir Dewi. (Halaman 15).
Inilah ulasan dari buku kumpulan cerita pendek Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma yang begitu fenomenal.
Selamat membaca!
Identitas Buku
Judul: Saksi Mata
Penulis: Seno Gumira Ajidarma
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan: I, April 2016
Tebal: 155 Halaman
ISBN: 978-602-291-205-7
Baca Juga
-
Vivo V60 Resmi Rilis, Andalkan Kamera Telefoto ZEISS dan Snapdragon 7 Gen 4
-
Review Buku Indonesia Merdeka, Akhir Agustus 2025 Benarkah Sudah Merdeka?
-
Samsung Segera Kenalkan Galaxy S25 FE, Dibekali Prosesor Exynos 2400 dan CPU 10 Core
-
Vivo X Fold 5 Resmi Masuk Indonesia, HP Lipat dengan Durabilitas Tinggi serta Engsel Kuat dari Baja
-
Menganalisis Ideologi Negara dalam Buku Ragam Tulisan Tentang Pancasila
Artikel Terkait
-
Persiapkan Ibadah Haji Maksimal, Ini Link Download Buku Saku Haji Resmi Kemenag
-
Menyesuaikan Diri Terhadap Perubahan Hidup dalam Buku "Adaptasi"
-
Ulasan A Swiftly Tilting Planet: Mengubah Sejarah Lewat Perjalanan Waktu
-
4 Film Islami yang Diadaptasi dari Novel Asma Nadia, Inspiratif Banget!
-
Menyelami Rasa Sedih dan Lega Secara Bersamaan dalam Novel Eleanor
Ulasan
-
Review Film The Exit 8: Ketakutan Nyata di Lorong Stasiun yang Misterius
-
Membaca Ulang Kepada Uang: Puisi tentang Sederhana yang Tak Pernah Sederhana
-
Review Film Siccin 8: Atmosfer Mencekam yang Gak Bisa Ditolak!
-
Film Man of Tomorrow, Sekuel Superman Tayang Tahun Depan?
-
Kisah Manis Pahit Persahabatan dan Cinta Remaja dalam Novel Broken Hearts
Terkini
-
Lebih dari Sekadar Keponakan Prabowo, Ini Profil Rahayu Saraswati yang Mundur dari DPR
-
Bukan Sekadar Coretan, Inilah Alasan Poster Demo Gen Z Begitu Estetik dan Berpengaruh
-
Nabung Itu Wacana, Checkout Itu Realita: Melihat Masalah Nasional Gen Z
-
Bukan Cuma Anak Menkeu, Ini Sumber Kekayaan Yudo Sadewa yang Dihujat Netizen
-
Studi Banding Hemat Ala Konten Kreator: Wawancara DPR Jepang Bongkar Budaya Mundur Pejabat