Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Athar Farha
Poster Film Havoc (IMDb)

Ketika mendengar nama Gareth Evans, jelas ada ekspektasi tinggi terkait film terbarunya, selepas dirinya pernah sukses menyutradarai Film The Raid (2012) dan The Raid 2 (2014), dua film aksi yang nggak cuma membawa seni bela diri Indonesia ke mata dunia, tapi juga menghadirkan aksi brutal yang terasa intens dan nyaris bikin dada sesak dan ngilu. 

Maka ketika kabar Gareth Evans kembali menyutradarai film aksi berjudul ‘Havoc’, dengan Tom Hardy di posisi utama, seketika rasa penasaran memuncak. Apalagi ini proyek kerjasama dengan Netflix dan XYZ Films, yang sudah tayang sejak 25 April 2025 di Netflix. 

Sayangnya, ekspektasi yang awalnya tinggi harus turun drastis begitu kredit akhir mulai bergulir. Kok bisa? Sini simak lebih lanjut!

Sekilas tentang Film Havoc

Havoc mengisahkan Walker (Tom Hardy), seorang polisi yang korup dan ayah yang buruk. Namun, anehnya, masih bisa jadi karakter dengan moral kompas paling jelas di antara barisan tokoh bengkok lainnya. Hmmm … kepo kenapa bisa gitu, kan? 

Jadi begini. Walker tuh semacam "fixer", orang bayaran, yang tugasnya menutupi kekacauan orang-orang berkuasa, termasuk Lawrence Beaumont (Forest Whitaker), si politisi lokal yang penuh rahasia. 

Ketika anak laki-laki Beaumont, Charlie (Justin Cornwell), terlibat dalam pembunuhan anak dari bos triad Tionghoa, Walker diminta untuk mengevakuasi Charlie sebelum semuanya menjadi kacau balau.

Masalahnya, kekacauan justru dimulai sejak misi itu bergulir. Dalam satu malam yang panjang, Walker harus melintasi labirin kota gelap nan kumuh demi menemukan Charlie dan pacarnya, Mia (Quelin Sepulveda), sambil menghadapi kejaran geng Triad, pembunuh bayaran, serta rekan sesama polisi yang juga korup. 

Untungnya, Walker nggak sepenuhnya sendirian. Ada Ellie (Jessie Mei Li), polisi muda idealis yang menjadi satu-satunya cahaya kecil di dunia penuh abu-abu itu. 

Kisahnya memang semantap itu, tapi ….

Impresi Selepas Nonton Film Havoc

Kalau hanya berbicara soal aksi, Gareth Evans memang piawai. Film ini dijejali rangkaian kekerasan berdurasi panjang, dari kejar-kejaran brutal di lorong apartemen hingga pertarungan klimaks di kabin bersalju yang lebih mirip pembantaian Natal berdarah ketimbang penebusan dosa. Bahkan, ada adegan absurd tapi memorable, scene mesin cuci dijadikan senjata. Yap, mesin cuci!

Nah, Luis Guzman sempat mencuri perhatianku dalam salah satu adegan di klub malam, saat menyemprotkan peluru ke arah musuh seperti anak-anak muda sedang main game arcade. Namun, meskipun koreografi pertarungan dibuat detail, penggunaan CGI untuk efek darah terasa murahan dan malah merusak ilusi aksi fisiknya. 

Yang jadi masalah utama adalah naskah yang ditulis sama si Gareth Evans, terasa terlalu generik dan datar. Karakter-karakternya tipis, motivasinya samar, dan bahkan Tom Hardy yang biasanya magnetis, terlihat seperti sedang menunggu kontraknya selesai. Bahkan penampilan Forest Whitaker dan Timothy Olyphant terasa mubazir; hadir hanya bawa nama besar, nggak nambah kedalaman cerita.

Ini seperti mencoba meniru gaya John Woo—banyak peluru, banyak darah—tapi lupa menyuntikkan keindahan visual dan drama manusia di balik setiap tembakan.

Pada akhirnya, Film Havoc masih layak masuk daftar tonton kok. Bisa dinikmati sebagai tontonan iseng buat pecinta aksi yang nggak keberatan dengan kekerasan tanpa makna. Sayangnya memang, buat yang mau lebih dari sekadar hantam-hantaman, tembak-tembakan, kejar-kejaran, sepertinya ini akan membuat Sobat Yoursay kecewa. Namun yang jelas, suka nggaknya sama suatu film itu lebih ke soal selera kok. Jadi ada baiknya Sobat Yoursay buktikan sendiri saja dengan menontonnya. 

Skor: 2,5/5

Athar Farha