Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Athar Farha
Poster Film The Banished (IMDb)

Sebagai penonton yang sudah cukup kenyang dengan jumpscare murahan dan cult-cult-an yang generik, aku nonton Film The Banished tanpa banyak ekspektasi. Eh, entah kenapa, film ini berhasil menarikku masuk dan terhubung. Bukan karena plot-nya yang revolusioner, tapi karena atmosfer gelap dan intensitas yang dibangun begitu konsisten. 

Bisa dibilang, Ini tipe film yang bikin tahan napas bukan karena takut hantu, tapi karena kepo dengan apa yang sebenarnya dikejar tokoh utamanya.

Sobat Yoursay penasaran juga? Sini deh kepoin bareng!

Sinopsis Film The Banished

Tayang terbatas di bioskop pada 18 Juli 2025 sekaligus bisa disewa atau dibeli di Apple TV, di tangan Sutradara Joseph Sims-Dennett, film ini rupanya menceritakan tentang Grace Jennings (diperankan Meg Clarke), perempuan yang nekat menyusuri hutan demi mencari jejak saudara laki-lakinya yang hilang, David (Gautier de Fontaine). 

Setelah kematian ayah mereka, Grace merasa ada yang belum selesai. Namun, alih-alih menemukan kedamaian, dia malah masuk ke dunia yang lebih gelap dari yang pernah dia bayangkan.

Memangnya apa yang yang belum selesai dan misteri apa yang harus Grace ungkap? Tontonlah sendiri. Bila mau tahu beberapa spoilernya, sini merapat!

Review Film The Banished 

Dari awal, film ini nggak peduli menjelaskan apa pun secara langsung. Alurnya non-linear, sepotong-sepotong, seperti serpihan mimpi buruk yang ditata ulang jadi satu cerita. 

Grace nggak cuma berurusan dengan kehilangan, tapi juga harus menghadapi sikap dingin dari pamannya, Rex (Tony Hughes), yang bilang kalau pencariannya sia-sia. Bahkan istri Rex, Margy (Cassandra Hughes), juga ikut lenyap entah ke mana.

Nah, satu di antara tokoh yang cukup menonjol adalah Mr. Green (Leighton Cardno), mantan guru yang setengah-setengah mau membantu Grace (agak nggak ikhlas). Dia minta bayaran dulu sebelum bantu, dan bahkan saat mereka sudah mulai menyusuri hutan bersama pun, dia terasa berat melangkah lebih jauh lagi. Ada bekas luka emosional di wajahnya, tapi film ini enggan mengungkap lebih jauh. Itulah bagian yang agak mengecewakan diriku. 

Betewe, Grace nggak menemukan banyak hal selain jejak-jejak kecil; tenda kosong, walkie-talkie, pisau panjang dengan simbol misterius, dan yang paling berat terkait masa lalu keluarga yang gelap dan menyakitkan. Rasanya seperti menggali tanah di tempat yang salah, tapi tetap berharap menemukan sesuatu.

Sementara itu, secara teknis, buat penggunaan kamera handheld berpadu dengan shot yang lebih halus menciptakan rasa cemas. Cahaya senter yang menembus gelap malam terasa seperti satu-satunya pegangan yang bisa dipercaya. Musik garapan Tauese Tofa juga memainkan peran penting, adrenalin nonton terasa naik gitu. 

Namun sayangnya, film ini mulai loyo di babak akhir. Ketika ceritanya sudah menjurus ke ranah “cult horor”, semuanya terasa terlalu familier. Aku bisa menebak akhir film ini bahkan sebelum klimaksnya datang. Ending-nya pun pahit, seolah-olah semua pencarian itu sia-sia, dan mungkin nggak ada keselamatan sejak awal.

Aku harus jujur, film ini membuatku merasa campur aduk. Di satu sisi, aku suka bagaimana Film The Banished menggambarkan trauma dan keputusasaan lewat metafora yang kelam dan atmosferik. Namun, di sisi lain, karakternya terlalu tertutup, terlalu dingin. Bahkan interaksi antara Grace dan Mr. Green, nggak pernah benar-benar mekar. Satu-satunya momen emosional yang aku ingat adalah saat Mr. Green ditanya kenapa berhenti mengajar, dan dia hanya menjawab dengan mengangkat botol flask-nya. Tragis, tapi hampa.

Di balik kesuraman itu, aku menangkap satu hal yang cukup membekas, yakni Film The Banished bukan tentang menemukan orang yang hilang. Ini tentang mencoba berdamai dengan masa lalu yang nggak akan pernah ngasih jawaban. 

Dan seperti yang disiratkan film ini, terkadang keyakinan ada cahaya di ujung terowongan, justru adalah kebohongan paling manis. Ups. 

Selamat nonton, ya!

Skor: 2/3

Athar Farha