Ketika membahas tentang film-film religi di Indonesia, pikiran sofefil pasti langsung tertuju pada beberapa hal: pesan moral yang kuat, dan kadang, sayangnya, narasi terlalu condong pada satu sisi saja.
Nah, bedanya kali ini waktu nonton Film Aisyah - Biarkan Kami Bersaudara, rasanya seperti menemukan oase di tengah padang gersang film bertema keagamaan yang suka menghakimi. Film ini seperti secangkir teh hangat di pagi yang dingin. Sederhana, tapi menghangatkan hati.
Disutradarai Herwin Novianto, film ini dirilis tahun 2016 di bawah bendera rumah produksi Film One Productions dan Semesta Pictures. Dibintangi Laudya Cynthia Bella sebagai tokoh utama, film ini juga didukung aktor-aktris ternama, di antaranya:
- Arie Kriting
- Ge Pamungkas
- Lydia Kandou
- Surya Sahetapy
- Para bintang cilik yang justru paling menyegarkan di sepanjang film
- Dan masih banyak peran pendukung lainnya
Sekilas tentang Film Aisyah - Biarkan Kami Bersaudara
Film ini mengikuti kisah Aisyah (Laudya Cynthia Bella), perempuan muda asal Ciwidey, Jawa Barat, yang baru saja lulus kuliah dan tengah mencari arah hidup. Ketika pria yang diam-diam dicintainya, Jaya (Ge Pamungkas), pindah ke Aceh karena pekerjaan, Aisyah pun ikut terpanggil untuk mengabdi.
Mengabdi jadi apa dan ke mana? Aisyah menerima tawaran menjadi guru di pelosok Nusa Tenggara Timur, meskipun sang ibu, Ratna (Lydia Kandou) sempat menentangnya.
Di tempat barunya, Aisyah harus menghadapi kenyataan yang jauh dari bayangannya. Desa itu belum teraliri listrik, sulit mendapatkan air bersih, dan sekolah tempat dia mengajar penuh keterbatasan.
Hal yang lebih berat dari semua itu terkait penolakan dari beberapa murid dan warga sekitar. Sebagai seorang muslimah di tengah komunitas mayoritas Katolik, kehadiran Aisyah dianggap sebagai ancaman. Di sinilah konflik utama film ini mulai tumbuh.
Asli, menarik banget buat ditonton (bila dilihat dari sinopsisnya). Sini kepoin lebih lanjut terkait kedalaman filmnya.
Impresi Selepas Nonton Film Aisyah - Biarkan Kami Bersaudara
Aku pribadi menyukai arah yang diambil film ini. Naskah yang ditulis sama Jujur Prananto dan Gunawan Raharja, meskipun alurnya cukup formulaik—dengan konflik, perjuangan, dan resolusi yang bisa ditebak sejak awal—Aisyah tetap berhasil menyampaikan pesan penting tanpa menggurui.
Aku tahu dari awal film ini akan membawa Aisyah menghadapi penolakan, dan aku juga tahu pada akhirnya akan ada penerimaan dan harmoni. Namun, perjalanan menuju ke sana tetap membuat aku betah mengikutinya.
Soalnya karakter Aisyah nggak digambarkan terlalu suci atau sempurna seperti tokoh utama dalam banyak film sejenis. Manusia biasa deh, yang bisa rindu rumah saat lebaran, bisa patah hati karena cinta, dan bisa goyah saat dihadapkan pada tantangan hidup. Itu membuatku merasa dekat dengannya, bersimpati, bahkan ingin menyemangati dia dari balik layar.
Bahkan para aktor cilik pun tampil natural, membuat hubungan antara guru dan murid terasa meyakinkan dan menyentuh.
Namun tentu saja, nggak semuanya mulus. Ada beberapa bagian yang menurutku terasa terlalu dramatis. Herwin Novianto saat mengarahkannya, kadang terlalu larut dalam suasana dramatis.
Aku juga merasa film ini bisa lebih menggali isu relasi antarumat beragama secara lebih dalam. Soalnya apa? Film ini menurutku, baru menyentuh permukaannya. Ya, cuma menunjukkan konflik dan menyelesaikannya lewat pesan-pesan sederhana seperti saling tolong-menolong, membuat pohon Natal bersama, atau berbagi cerita. Gitu doang.
Biarpun gitu, toh aku tetap menghargai apa yang disajikan. Dalam iklim sosial yang kerap panas karena isu agama, film ini menawarkan pelukan hangat dan harapan bahwa persaudaraan itu masih mungkin terjadi.
Aku rasa, itu lebih dari cukup untuk membuatku merekomendasikannya kepada Sobat Yoursay.
Skor: 3/5
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Review Film Ghost Train: Teror Tanpa Akhir di Jalur Bawah Tanah
-
Review Film Believe: Kobaran Cinta Tanah Air
-
Review Film Apocalypse in the Tropics: Gelapnya Demokrasi yang Terancam
-
Review Film Dont Lets Go to the Dogs Tonight: Hidup di Tengah Peperangan
-
Review Film Three Kilometres to the End of the World: Potret Aib Terpilu
Artikel Terkait
-
Review Film On Swift Horse: Mengembara dengan Luka dan Cinta
-
Review Film Rumah Untuk Alie: Bukan Rumah tapi Neraka!
-
Review Film Drop: Dinner Romantis Berujung Teror Notifikasi Maut
-
Review Pengepungan di Bukit Duri, Lebih Ngeri dari Semua Film Joko Anwar
-
Setelah Film Sijjin, Sekuelnya Segera Tayang! Pemain Baru, Rasa Baru?
Ulasan
-
Ulasan Novel Dear G: Menebak Apa yang Terjadi di Masa Depan
-
Ulasan Buku Who Are You: Mengungkap Jati Diri Lewat Tes Kokologi ala Jepang
-
Ulasan Novel Look Before You Leap:Romansa Tak Biasa dalam Pesta Bangsawan
-
Woozi SEVENTEEN Ajak Kita Berdamai dengan Takdir di Lagu Bertajuk Destiny
-
Review Film A Normal Woman: Perjalanan Menemukan Diri di Tengah Luka!
Terkini
-
Saat Kenangan Jadi Komoditas: Psikologi di Balik Tren Vintage Masa Kini
-
Persija Jakarta Punya Stok Striker, Eksel Runtukahu Tak Takut Bersaing
-
Futsal: Lebih dari Sekadar Pertandingan di Lapangan Kecil
-
Piala AFF U-23: Bonus Besar Menanti Indonesia Jika Bisa Jadi Juara!
-
Menyelamatkan Harimau: Ketika Konservasi Satwa Liar Menjadi Solusi Iklim