Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Ryan Farizzal
Poster film A Normal Woman (IMDb)

Film A Normal Woman yang tayang di Netflix mulai 24 Juli 2025 ini benar-benar jadi angin segar di tengah maraknya film Indonesia yang kadang terjebak di formula romansa atau horor.

Disutradarai oleh Lucky Kuswandi, yang udah terkenal lewat karya-karya seperti Ali & Ratu Ratu Queens dan Selamat Pagi, Malam, film ini mengusung genre thriller psikologis yang nggak cuma bikin tegang, tapi juga mengajak kita mikir soal tekanan sosial, kesehatan mental, dan identitas perempuan.

Dengan durasi 1 jam 50 menit, film ini dibintangi oleh Marissa Anita sebagai Milla, sosok sosialita yang hidupnya kelihatan paripurna, tapi ternyata penuh luka batin. Yuk, kita ulas apa yang bikin film ini spesial, monggo langsung saja disimak!

Cerita A Normal Woman berpusat pada Milla, seorang sosialita Jakarta yang hidupnya seperti di dongeng: rumah mewah, suami tajir bernama Jonathan (Dion Wiyoko), dan status sosial yang bikin orang-orang iri. Tapi, di balik kemewahan itu, Milla menyimpan kegelisahan yang pelan-pelan muncul ke permukaan.

Suatu hari, dia mulai mengalami gejala aneh: ruam misterius di leher, mimisan, sampai bayangan-bayangan yang bikin ngeri. Gejala ini bukan cuma soal fisik, tapi juga cerminan tekanan psikologis yang dia hadapi—dari mertua yang dominan (Widyawati), suami yang perfeksionis, sampai ekspektasi sosial yang nuntut dia selalu tampil sempurna.

Film ini mengangkat isu yang super relevan: bagaimana perempuan sering terjebak dalam peran “ideal” yang dibentuk oleh masyarakat. Milla digambarkan sebagai sosok yang seperti boneka cantik—dikagumi dari luar, tapi kehilangan kendali atas tubuh dan hidupnya sendiri.

Perjalanan dia mencari tahu asal-usul “penyakit” ini bikin aku ikut tenggelam dalam krisis eksistensialnya. Apalagi, ada konflik lintas generasi lewat hubungannya sama Angel (Mima Shafa), anak perempuannya yang berani speak up soal trauma keluarga.

Review Film A Normal Woman

Salah satu adegan di film A Normal Woman (IMDb)

Dari segi visual, A Normal Woman punya estetika yang elegan banget. Sinematografi oleh Batara Goempar bikin setiap frame terasa puitis, dengan warna-warna gelap yang mencerminkan kesepian Milla.

Rumah mewah yang jadi setting utama malah terasa dingin dan menyesakkan, bikin aku ngerasain tekanan yang dialami Milla. Musik oleh Abel Huray juga sukses nambahin vibe tegang sekaligus emosional.

Akting Marissa Anita sebagai Milla? Top banget! Dia berhasil memerankan karakter yang kuat tapi rapuh dengan sangat natural. Ekspresinya saat Milla mulai “pecah” bikin kita ikut ngerasa sedih sekaligus takut.

Dion Wiyoko sebagai Jonathan juga oke, meski karakternya agak datar karena naskah kurang kasih ruang buat dia berkembang.

Widyawati sebagai mertua yang super controlling benar-benar bikin geregetan, tapi itulah kekuatannya—dia bikin kita benci tanpa lebay. Sayangnya, beberapa karakter pendukung seperti Erika (Gisella Anastasia) terasa kurang greget karena motivasinya nggak begitu jelas.

Salah satu kekuatan A Normal Woman adalah caranya menyentil isu-isu yang relate sama kehidupan perempuan modern. Film ini nggak cuma soal penyakit misterius, tapi juga tentang tekanan sosial, standar kecantikan, dan trauma lintas generasi.

Lucky Kuswandi bilang, inspirasi film ini datang dari fenomena “a woman trapped”—perempuan yang terjebak dalam norma patriarkal. Dialog dan simbolisme, seperti ruam di leher Milla, bikin aku mikir: kadang tubuh kita sendiri yang kasih alarm kalo jiwa kita lagi nggak oke.

Film ini juga berani nggak menggambarkan siapa pun sebagai penutup murni. Semua karakter—dari Milla, Jonathan, sampai mertua—punya alasan dan luka masing-masing. Ini bikin ceritanya terasa manusiawi dan nggak hitam-putih.

Meski premisnya kuat, eksekusi cerita di A Normal Woman nggak selalu mulus. Kalau boleh jujur twist di pertengahan film terlalu absurd dan malah bikin ketegangan yang udah dibangun jadi buyar.

Beberapa plot hole juga dibiarkan menggantung, seperti motivasi karakter Erika yang tiba-tiba muncul tanpa penjelasan kuat. Transisi emosi antarkarakter kadang terasa dipaksakan, bikin beberapa momen seperti sinetron.

Pace cerita juga terasa agak lambat, apalagi buat penonton yang nggak terbiasa sama thriller psikologis yang lebih fokus ke batin ketimbang aksi. Buat yang ngarepin ending yang rapi, film ini mungkin bakal bikin sedikit kecewa karena banyak konflik yang nggak terselesaikan dengan memuaskan.

Secara keseluruhan, A Normal Woman adalah film yang berani dan punya banyak hal untuk ditawarkan. Visualnya ciamik, aktingnya solid, dan temanya bikin kita refleksi soal tekanan yang sering nggak kelihatan di hidup sehari-hari.

Buat yang suka film dengan vibe psikologis yang dalam dan nggak cuma sekadar hiburan, film ini wajib masuk watchlist. Tapi, kalau kamu tipe yang suka cerita dengan alur rapi dan twist yang masuk akal, mungkin bakal sedikit kesel sama beberapa keputusan naratif di film ini.

Untuk rating? Aku beri 7/10. Film ini punya potensi besar, tapi eksekusinya agak setengah matang. Meski begitu, A Normal Woman tetap jadi tontonan yang worth it, apalagi buat yang pengin lihat sisi lain dari perfilman Indonesia yang nggak cuma soal cinta-cintaan atau hantu-hantuan.

Jadi, siapin camilan, buka Netflix, dan ikuti perjalanan Milla yang penuh gejolak ini!

Ryan Farizzal