Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Athar Farha
Poster Film Final Destination - Bloodlines (IMDb)

Siapa sangka maut bisa jadi begitu kreatif dalam menjemput nyawa. Saat Film Final Destination - Bloodlines diumumkan jadi entri baru setelah bertahun-tahun vakum, wajar bila sinefil ada yang beranggapan film ini cuma bakal mendaur ulang formula lama: Sekelompok remaja lolos dari tragedi, lalu satu per satu menemui ajal dengan cara penuh kejutan dan mengenaskan. 

Namun ternyata, anggapan itu ternyata keliru. Film keenam ini nggak cuma menghadirkan kematian dengan gaya khasnya yang mencengangkan, tapi juga membawa napas segar lewat eksplorasi mitologi dan pendekatan emosional yang sebelumnya nggak pernah disentuh seri ini.

Buat Sobat Yoursay yang mau nonton, yuk kepoin kisahnya lebih dalam lagi! 

Sekilas tentang Film Final Destination - Bloodlines

‘Bloodlines’ yang lagi tayang di bioskop-bioskop kesayanganmu, membuka kisahnya di tahun 1968, saat Iris (diperankan Brec Bassinger) dan kekasihnya, Paul (Max Lloyd-Jones), mengalami kecelakaan fatal di sebuah gedung pencakar langit. 

Uniknya, itu bukan sekadar adegan pembuka berdarah. Tragedi itu ternyata merupakan potongan mimpi buruk yang selama dua bulan terakhir dialami Stefani (Kaitlyn Santa Juana), remaja masa kini yang perlahan menyadari Iris adalah nenek kandungnya yang kini hidup menyendiri dan dianggap gila sama keluarga.

Dari titik itu, aku langsung tahu, ini bukan Film Final Destination biasa. Kematian dalam film ini nggak cuma ada sebagai ‘kekuatan abstrak’ yang mengejar korban secara acak. Ada alasan, ada pola, dan ada kutukan. 

Iris percaya kalau dirinya seharusnya tewas pada tahun 1968. Karena dia selamat, maka seluruh garis keturunannya dianggap “nggak semestinya ada” dan maut datang menagih hutang!

Seru dan menarik banget ya? Sini kepoin pengalaman sehabis nonton Film Final Destination - Bloodlines 

Impresi Selepas Nonton Film Final Destination - Bloodlines 

Hal pertama yang membuat aku terkejut (dalam arti positif) terkait keberanian film ini menyelami mitologi yang selama ini hanya jadi bayang-bayang samar di balik deretan kematian. Bukan berarti film ini jadi berat atau terlalu serius. Justru dengan menggali asal muasal kekuatan maut, aku merasa seri ini akhirnya menemukan pondasi naratif yang lebih kokoh.

Stefani bukan satu-satunya yang terlibat. Ada adyik, Charlie (Teo Briones), serta sepupu-sepupunya: Erik (Richard Harmon), Bobby (Owen Patrick Joyner), dan Julia (Anna Lore). 

Namun, yang membuat aku agaknya lebih terkesan, itu terkait dinamika keluarga yang dibangun—bukan hanya karena darah, tapi karena niat untuk saling menyelamatkan. Howard (Alex Zahara), paman mereka, dan Darlene (Rya Kihlstedt), ibu yang lama menghilang dari hidup Stefani, ikut terseret dalam pusaran maut ini.

Salah satu karakter paling mencuri perhatian aku adalah Erik. Awalnya tampak cuek dan apatis, tapi seiring waktu, dialah yang paling gigih mencari cara untuk mengakali takdir. Jarang aku temukan karakter seperti ini di film horor remaja. 

Tentu saja, aku nggak bisa bicara ‘Final Destination’ tanpa membahas kematiannya.

Adegan-adegan maut dalam film ini tetap brutal, sadis, dan penuh kejutan. Mungkin nggak seikonik truk kayu dalam ‘Final Destination 2’ atau latihan senam di film kelima, tapi tetap menyajikan adrenalin yang menyenangkan sekaligus mengerikan.

Beberapa adegan menyisipkan humor gelap yang sukses membuat aku tersenyum di tengah ketegangan. Ada momen ketika musik pop diputar bersamaan dengan sebuah kematian tragis, dan itu ngeri banget. 

Dan yang membuat aku agak emosional, terkait kehadiran William Bludworth, si penjaga rumah duka yang misterius, (diperankan Tony Todd). Karakter ikonik ini kembali dengan aura khasnya yang mengintimidasi. Aku rasa ini adalah momen penghormatan yang manis dan layak untuk mendiang Tony Todd, yang wafat nggak lama sebelum film ini dirilis.

Akhir kata, Film Final Destination - Bloodlines adalah bukti waralaba horor yang nyaris berumur seperempat abad masih bisa berevolusi. Mantap deh!

Skor: 3,5/5

Athar Farha