Ada perjumpaan yang tak bisa dilupakan—bukan karena kata-kata, bukan karena gerak tubuh, melainkan karena wajah. Wajah yang hadir begitu telanjang, tanpa senjata, tanpa topeng. Di sanalah Emmanuel Levinas memulai filsafatnya: bukan dari “aku” yang berpikir, tetapi dari “yang lain” yang memanggil.
Thomas Hidya Tjaya, dalam Enigma Wajah Orang Lain, membawa kita masuk ke lorong pemikiran Levinas yang tak biasa. Di sana, etika bukan turunan dari logika, melainkan sumber dari segala pengetahuan. Filsafat, bagi Levinas, lahir dari perjumpaan tatap muka—dari jarak yang tak bisa kita lewati, namun selalu mengundang kita untuk melangkah.
“The face is the presence of the Other. It is an epiphany.”
Wajah, kata Levinas, bukan sekadar objek pandang. Ia adalah epifani—penampakan yang membawa pesan abadi: “Thou shalt not kill.” Sebuah larangan yang mendahului hukum, mendahului kesepakatan sosial, bahkan mendahului agama. Ia bukan aturan yang dipaksakan dari luar, tetapi seruan yang lahir dari tatapan itu sendiri.
Thomas menjelaskan bahwa bagi Levinas, wajah selalu lebih dari apa yang terlihat. Ia tak pernah bisa ditangkap sepenuhnya oleh definisi, teori, atau representasi. Saat kita mencoba memahami, ia justru melampaui. Saat kita ingin memilikinya, ia menolak menjadi milik.
“To see the face is already to hear the call to responsibility.”
Dan di situlah inti filsafat Levinas: melihat wajah berarti sudah mendengar panggilan untuk bertanggung jawab. Bukan tanggung jawab yang lahir dari kontrak, melainkan tanggung jawab yang hadir sebelum kita memilih. Kita telah “terikat” bahkan sebelum kita berkata “ya”.
Buku ini bukan sekadar kajian akademis. Ia adalah ajakan untuk memeriksa kembali cara kita hadir di dunia. Thomas menyajikannya dengan bahasa yang jelas namun tetap menyisakan ruang untuk misteri, sehingga pembaca dapat merasakan kedalaman Levinas tanpa terjebak dalam rumitnya istilah filsafat.
Dalam setiap halamannya, kita diingatkan: mungkin moralitas tidak dimulai dari aturan, tetapi dari momen hening ketika kita bertemu tatapan orang lain—entah itu sahabat yang sedang berduka, seorang pengungsi di perbatasan, atau bahkan orang asing yang kita temui di keramaian.
Levinas menegaskan bahwa “yang lain” selalu melampaui diri kita. Kita tidak bisa menaklukkannya menjadi sekadar ide, sebab ia hadir dengan kebebasan yang tak bisa dibelenggu. Dan justru dalam ketidakmampuan itu, kita menemukan kemanusiaan kita sendiri.
Membaca Enigma Wajah Orang Lain bagaikan menapaki jalan sempit di tepi jurang yang memandang ke lembah tak terbatas: pemandangannya memesona, tetapi setiap langkah menuntut kewaspadaan yang penuh. Thomas Hidya Tjaya tidak sekadar menyajikan penjelasan akademis; ia menenun kata menjadi jembatan yang menghubungkan pikiran dengan nurani, mengundang kita untuk masuk ke ruang dialog yang intim dengan pemikiran Levinas. Di sana, kita perlahan menyadari bahwa pertanyaan terdalam manusia bukan sekadar “siapa aku?”, melainkan “bagaimana aku memikul tanggung jawab terhadap yang lain?”, sebuah pertanyaan yang menggema jauh melampaui batas ego, menyentuh inti kemanusiaan yang rawan namun penuh makna.
Pada akhirnya, buku ini meninggalkan gema yang halus namun menusuk: bahwa wajah orang lain adalah sebuah kitab terbuka, tanpa sampul penutup, tanpa halaman terakhir—sebuah teks hidup yang tak pernah selesai dibaca, karena setiap pertemuan menambah makna baru. Ia mengajarkan bahwa membaca wajah bukanlah sekadar mengenali raut, tetapi menanggapi panggilan yang keluar dari keheningannya; panggilan yang menuntut keberanian untuk hadir, mendengar, dan menjawab. Mungkin memang, tugas kita di dunia ini hanyalah terus membaca—bukan dengan mata yang sekadar melihat, melainkan dengan hati yang siap menanggapi, bahkan ketika jawabannya mengguncang kenyamanan kita sendiri.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Tingkatkan Potensi dan Raih Mimpimu dalam Buku The Potential Dream
-
Buku The Productive Muslim: Menggabungkan Iman dalam Produktivitas Muslim
-
Ulasan Buku Dont Be Sad, Motivasi Islami yang Menenangkan Jiwa
-
Menemukan Bahagia di Tengah Hidup yang Kacau dalam Buku How To B Happy
-
Isu Mental Health dalam Buku Kupikir Segalanya Akan Beres Saat Aku Dewasa
Ulasan
-
Sinyal yang Dikirim untuk Orang Tercinta di Lagu TWICE "Signal"
-
Potret Sosial di Balik Kisah Cinta Beda Ormas dalam Novel Kambing dan Hujan
-
Satire Komikal yang Menyakitkan dalam Buku Lebih Senyap dari Bisikan
-
Review Film The Sparrow in the Chimney: Bara Bergolak di Pesta Keluarga
-
Review Film Nobody 2: Saat Liburan Keluarga Jadi Kacau Banget
Terkini
-
5 Inspirasi Outfit Bandara ala Lee Know Stray Kids, Comfy Abis!
-
Jay Idzes, Saga Transfer dan Kepindahannya yang Selalu Membawa Untung bagi Pihak Klub
-
4 Essence Lendir Siput Ampuh Mengunci Hidrasi Kulit dan Redakan Iritasi!
-
Nikita Mirzani Bawa 'Amunisi' Rekaman Suara ke KPK, Diklaim Bisa Bongkar Konspirasi Besar
-
Susul Kim Nam Gil, Park Bo Gum OTW Bintangi Film Adaptasi Lukisan An Gyeon