Saat pertama kali mendengar judul ‘Magic Farm’, rasanya langsung terbayang sesuatu yang manis. Membayangkan cerita anak-anak dengan kelinci lucu atau kebun penuh bunga warna-warni yang dihinggapi kupu-kupu di saat senja.
Namun, begitu nama Amalia Ulman muncul sebagai sutradara sekaligus penulis naskahnya, aku tahu ini bukan kisah semanis yang dibayangkan. Terlebih, dengan Chloë Sevigny memimpin jajaran pemain, aku sudah bersiap untuk petualangan yang lebih nyeleneh.
Magic Farm merupakan film kedua Amalia Ulman setelah debutnya, pertama kali tayang di Sundance Film Festival saat sesi World Cinema Dramatic Competition pada 28 Januari 2025, dan diproduksi secara independen sama Spacemaker Productions, MUBI, Tango Entertainment, dan REI Cinema, serta didistribusikan sama MUBI.
Sekilas tentang Film Magic Farm
Dalam kisah ‘Magic Farm’, Edna (Chloë Sevigny) menjadi pentolan dari kru dokumenter kecil dan jujur saja, sama sekali nggak profesional.
Ada Dave (Simon Rex), suami Edna yang lebih sering menghilang sambil menghisap rokok; Jeff (Alex Wolff), produser yang tampaknya seperti hidup serba kacau; Justin (Joe Apollonio) si kikuk; dan Elena (Amalia Ulman sendiri), satu-satunya anggota kru yang sedikit masuk akal karena dia minimal bisa berbahasa Spanyol.
Mereka berkeliling dunia mencari subkultur eksentrik buat ngisi konten kanal video mereka. Kali ini, targetnya adalah Super Carlitos, seorang musisi berbaju kelinci dari San Cristobal.
Masalahnya? Karena Jeff yang melakukan riset sembarangan (asal ketik di Google), mereka malah mendarat di negara yang salah, yakni Argentina, bukan negara asal si Carlitos, Spanyol.
Setelah kehilangan kontak dengan narasumber lokal, mereka tersesat di sebuah hotel kecil dan harus mengandalkan bantuan dari Popa (Valeria Lois), putrinya Manchi (Camila del Campo), serta sosok resepsionis lokal (Guillermo Jacubowicz).
Ketimbang mengakui kesalahan mereka, Edna dan kawan-kawan justru memutuskan untuk membuat cerita baru saja. Dengan seenaknya, mereka membentuk narasi dokumenter baru, memanfaatkan warga lokal demi kejaran views dan sensasi.
Gokil sih! Sini simak terus buat yang kepo pengalaman selepas nonton film ini.
Impresi Selepas Nonton Film Magic Farm
Menonton Film Magic Farm itu kayak nonton parade orang-orang yang nggak paham dunia di luar dirinya sendiri. Aku suka bagaimana Ulman menggunakan palet warna cerah dan editing cepat untuk menarik perhatian sejak awal, visualnya itu lho, menyala banget!
Namun, seiring berjalannya cerita, terasa jelas kalau ada terlalu banyak ide yang berusaha dikemas ke dalam durasi ±93 menit ini.
Aku tuh cukup menikmati humor satir, jadi bisa kubilang, film ini banyak momen lucu. Misalnya saat Justin memaksa musisi lokal untuk terdengar ‘lebih Latin’ agar cocok dengan stereotip mereka, atau ketika Jeff terkena ‘kutukan turis’ gara-gara minum air keran.
Belum lagi gaya Edna yang absurd (pas membawa tas Miu Miu dan sepatu Maison Margiela ke pedalaman Argentina) seolah-olah dia pergi ke Paris Fashion Week, bukan daerah terpencil.
Namun, di balik tawa-tawa itu, ada sindiran tajam yang Ulman tanamkan: Bagaimana media Barat sering datang ke negara-negara berkembang hanya untuk mengeksploitasi kisahnya, tanpa sungguh-sungguh peduli.
Ada subplot yang lebih serius. Saat anak-anak di desa banyak yang sakit dan meninggal muda karena kanker. Ini seharusnya jadi ‘kisah nyata’ yang mereka angkat.
Namun, naskahnya menunjukkannya dengan sangat pahit. Ya, para dokumenteris itu malah menciptakan cerita konyol ketimbang menyentuh tragedi nyata di depan mata mereka.
Sementara itu dari sisi eksekusi, Film Magic Farm agak kewalahan. Banyak percakapan terasa berputar-putar dan kadang nggak sinkron dengan tajuk besar yang ingin dibangun. Editingnya kurang rapi, sampai-sampai beberapa bagian terasa lebih panjang dari seharusnya.
Eh, ada yang janggal juga sih. Gini, meskipun Chloë Sevigny adalah wajah utama poster film, kehadirannya di layar justru cukup terbatas.
Saat dia muncul, performanya sebagai Edna yang sarkastik dan malas itu kece banget, tapi pusat gravitasinya malah pindah ke karakter Jeff yang diperankan Alex Wolff.
Mulai dari ketakutan akan penyakit kelamin, rasa bersalah sosial, sampai libido berlebih. Semua itu membuat Jeff jadi sumber komedi utama.
Kalau Sobat Yoursay suka komedi satir dengan kritik sosial tajam, ‘Magic Farm’ layak masuk daftar tontonanmu. Hanya saja, siap-siap untuk sedikit bersabar menghadapi kekacauan yang kadang terlalu berlarut-larut.
Skor pribadi: 3,3/5
Baca Juga
-
Imbas Ulah Lembaga Sensor, Kenikmatan Nonton Film The Red Envelope Jadi Hilang
-
Bicara Luka Memang Tidak Mudah dalam Film Mungkin Kita Perlu Waktu
-
Review Film Summer of 69: Kisahnya Nakal tapi Berkesan
-
Dari Komik ke Film, Garuda Eleven Siap Guncang Animasi Indonesia!
-
Review Film Cocote Tonggo: Yang Jualan Jamu Kesuburan tapi Nggak Subur
Artikel Terkait
Ulasan
-
Ulasan Novel Holly: Rahasia Mengerikan di Balik Rumah Pasangan Terhormat
-
Dari Anak Nakal Jadi Pahlawan Kota: Kisah Seru di Balik The Night Bus Hero
-
Imbas Ulah Lembaga Sensor, Kenikmatan Nonton Film The Red Envelope Jadi Hilang
-
Wisata Air Terjun Lapopu, Disebut-sebut Tertinggi di Sumba
-
Review Lagu Wide Awake: Ajakan Bertahan Saat Dunia Terasa Sedang Runtuh
Terkini
-
5 Rekomendasi Serial Kerajaan Netflix yang Tak Kalah Seru dari Bridgerton
-
Aprilia Tolak Tawaran Jorge Martin, Honda Sudah Siapkan Senjata?
-
Agensi Umumkan aespa dan IZNA Bersiap untuk Comeback pada Juni 2025
-
5 Penjahat Boku no Hero Academia yang Layak Dimaafkan, Siapa Saja?
-
6 Rekomendasi Drama China dari Pemain The Prisoner of Beauty