Buat Sobat Yoursay yang tumbuh bersama Film Jurassic Park. Dulu, pastinya, melihat T-Rex mengaum di tengah hujan rasanya seperti melihat keajaiban sinema di puncaknya. Jadi, setiap kali ada film baru dari waralaba ini, tentu masih ada yang berharap film terbaru akan jauh lebih ajaib dan mengagumkan.
Setelah sekian lama, hadirlah Film Jurassic World – Rebirth yang disutradarai Gareth Edwards (pernah bikin Film Rogue One dan Film The Creator). Kali ini, Gareth diberi tugas menghidupkan kembali waralaba yang rasanya sudah mulai kelelahan sendiri. Dan jujur, hasilnya? Campur aduk!
Kok bisa? Yuk, kepoin kisahnya!
Sekilas tentang Film Jurassic World – Rebirth
Berlatar lima tahun setelah kejadian di Film Jurassic World – Dominion, dunia kini sudah mulai terbiasa dengan keberadaan dinosaurus. Mereka bukan lagi ancaman besar (lebih seperti gangguan sehari-hari). Bahkan, ada adegan seekor dinosaurus diangkat dari East River New York, broad daylight. Reaksi publik? Biasa saja.
Namun, tentu saja, ada pihak yang masih melihat peluang keuntungan. Martin Krebs (diperankan Rupert Friend), si taipan Big Pharma yang ingin mengeksplorasi DNA hibrida dari dinosaurus tersisa di sebuah pulau tropis untuk tujuan kemanusiaan, yang tentu saja dibungkus dengan niat licik.
Maka dimulailah ekspedisi ke pulau itu, dipimpin Zora Bennett (Scarlett Johansson), tentara bayaran tangguh (meski tetap tampil memesona dan nyaris nggak berkeringat di hutan lembap).
Dia menggandeng Dr. Henry Loomis (Jonathan Bailey), paleontolog yang lebih cocok jadi model katalog sweater museum dibanding ilmuwan lapangan. Plus, ada Duncan Kincaid (Mahershala Ali), kapten kapal sekaligus rekan lama Zora yang punya chemistry menarik tapi performanya terlalu singkat.
Dan apa yang akan terjadi selanjutnya? Sobat Yoursay bisa tonton sendiri di bioskop.
Impresi Selepas Nonton Film Jurassic World – Rebirth
Jujur deh, film yang rilis di bioskop Indonesia pada 2 Juli 2025, bikin diriku menunggu-nunggu momen epik antara dinosaurus dengan manusia. Sayangnya, film ini terlalu lama terjebak dalam babak awal yang dipenuhi dialog-dialog penjelasan, monolog sains, dan narasi yang terasa kayak dibacakan dari brosur investor.
Terlepas dari itu, begitu aksi dimulai, terutama saat para dino kembali mengejar manusia di hutan, di convenience store terbengkalai, hingga sarang raksasa di tebing, film ini mulai menunjukkan taringnya.
Sutradara Gareth Edwards tahu caranya membangun skala dan ketegangan. Adegan-adegan itu sempat membuatku mengingat kenapa dulu aku jatuh cinta pada franchise ini.
Sayangnya, setiap kali film ini menemukan momentum, muncul subplot baru yang menghentikannya. Salah satu contohnya adalah subplot keluarga. Yang membawa penonton untuk mengenali karakter sosok ayah (Manuel Garcia-Rulfo) dan dua anaknya (Luna Blaise dan Audrina Miranda), lengkap dengan pacar si anak yang menyebalkan (David Iacono). Asli, keberadaan mereka nggak ngasih banyak kontribusi pada cerita utama. Lebih terasa nambah beban durasi ketimbang pelengkap yang dramatis.
Ada hal-hal yang tetap layak diapresiasi kok. Misalnya, sinematografi dalam arahannya John Mathieson (Gladiator, Logan) menampilkan gambar-gambar yang indah; dari sinar matahari keemasan yang menyinari air laut, sampai flare merah yang menyala di langit malam penuh ketegangan. Dan musik dari Alexandre Desplat menyisipkan motif John Williams dengan cukup menarik, membuat diriku merasa kembali ke dunia lama walaupun cuma sejenak.
Johansson, Ali, dan Bailey, semua tampil maksimal meski karakternya ditulis tipis. Johansson mencoba terlihat tangguh tapi tetap glamor; Ali ngasih lapisan emosional yang dalam untuk karakter yang seharusnya bisa lebih banyak ruang untuknya; dan Bailey, ah, dia mencoba sebisa mungkin agar jargon sains terdengar menarik.
Sayangnya, meski mereka sangat kompeten, nggak ada satu pun karakter yang benar-benar berkesan. Mereka lari, terjatuh, menyelamatkan diri, dan mengulang siklus itu tanpa banyak perkembangan berarti. Hubungan mereka nggak berkembang. Dinamika mereka terlalu singkat. Dan dialog mereka sering terasa kayak misi eksposisi, bukan percakapan manusia yang sewajarnya.
‘Jurassic World – Rebirth’ adalah film yang secara teknis rapi, penuh dengan visual megah dan aksi yang kadang berhasil. Namun sayangnya, nggak cukup menyuguhkan sajian segar ke dalam waralaba yang semakin berat langkahnya. Tema kapitalisme sebagai monster utama memang menarik, tapi dibalut terlalu tipis, dan itu berdampak pada sisi emosionalnya.
Film ini cocok buat Sobat Yoursay yang rindu aksi dinosaurus dan nggak keberatan dengan naskah yang biasa saja. Selamat nonton ya.
Skor: 3/5
Tag
Baca Juga
-
Introvert, Validasi, dan Kematian, Resep Gila Diramu Film Tinggal Meninggal
-
Film yang Katanya 'Nasionalis' Seharusnya Memuliakan Bahasa
-
Review Film Merah Putih: One For All, Terlalu Mentah untuk Dinikmati
-
Cobaan Rumah Tangga Bisa Datang dari Mana Saja, Termasuk Serangan Mistis
-
Film Bagus Memang Layak Diapresiasi Berjuta-Juta Penonton
Artikel Terkait
-
8 Dinosaurus Mengerikan yang Akan Muncul di Film Jurassic World Rebirth
-
Urutan Film Jurassic Park Hingga Jurassic World: Rebirth, Begini Kronologi Lengkapnya!
-
Kapan Jurassic World Rebirth Tayang? Cek Jadwal dan Sinopsisnya Disini!
-
4 Film Blockbuster Paling Dinanti Tayang Juli 2025 di Indonesia
-
Sinopsis, Daftar Pemain, dan Jadwal Tayang Film Jurassic World Rebirth
Ulasan
-
Ulasan Buku The Smileless Princess, Putri yang Dikutuk Tidak Bisa Tersenyum
-
Ulasan Film Tinggal Meninggal: Sindiran Kocak untuk Hidup Modern!
-
Review Film Nobody 2: Sekuel Aksi yang Lebih Gila dari Film Pertama!
-
Ulasan Buku Stress? So What?! Cara Mengubah Tekanan Menjadi Kekuatan
-
Introvert, Validasi, dan Kematian, Resep Gila Diramu Film Tinggal Meninggal
Terkini
-
Sinopsis Drama China The Perfect Suspect, Dibintangi Ou Hao dan Wang Herun
-
Sinopsis Drama China Keluarga This Thriving Land, Dibintangi Yang Mi dan Ou Hao
-
Futsal, Navigasi Otak, dan Jalan Menuju Merdeka
-
Seni Perang Lawan Sampah Makanan: Selamatkan Sisa Nasi, Lawan Inflasi
-
5 Rekomendasi Film Baru Sambut Akhir Pekan, Ada Demon Slayer!