Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Athar Farha
Poster Film House of Abraham (IMDb)

Apa jadinya jika Sobat Yoursay mencari akhir hidup lewat internet, dan justru terdampar di sebuah rumah terpencil yang penuh ritual aneh dan orang-orang putus asa?

House of Abraham’, debut penyutradaraan Lisa Belcher, mencoba membawa penonton menyelami sisi tergelap manusia, yakni keinginan untuk mengakhiri hidup, tapi lewat jalan yang lebih ‘terorganisir’.

Sekilas tentang Film House of Abraham

Diproduksi secara independen sama Lisa Belcher Films, film ini dibintangi Natasha Henstridge sebagai Dee, sosok perempuan yang masih dibayangi trauma masa kecil saat melihat ibunya bunuh diri. Luka itu nggak pernah sembuh, dan kini Dee sendiri sedang berada di ujung tanduk.

Dalam pencarian cara untuk mengakhiri hidupnya, dia menemukan sebuah komunitas di dark web. Kelompok kultus yang dipimpin Abraham (diperankan Lukas Hassel), pria yang menyebut dirinya ‘penasihat spiritual terakhir’ bagi orang-orang yang ingin mengakhiri hidupnya sendiri. 

Rumah Abraham sendiri dipenuhi karakter-karakter dengan keputusasaan masing-masing. Ada Victor (Gary Clarke), pria tua yang sakit keras; Alex (Marval A. Rex), seorang trans man yang merasa depresinya nggak terselesaikan; pasangan Jonathan (William Magnuson) dan Shannon (Khali Sykes), yang dihantui rasa bersalah atas insiden tragis; serta Pierre (Sean Freeland), pria kasar yang meledak-ledak karena depresi yang menumpuk. Mereka semua ada di sana untuk satu alasan: bunuh diri yang ‘diberkati’.

Impresi Selepas Nonton Film House of Abraham

Yang membuatku langsung bergidik bukan hanya premisnya, tapi juga bagaimana film ini membuka tirai dunianya yang dingin dan nggak berperasaan.

Hanya saja, di sinilah letak permasalahan film ini menurutku.

Film ini seolah-olah ingin menyajikan horor psikologis, tapi yang aku rasakan justru semacam sindiran satir yang kebablasan. Ritual bunuh diri yang dilakukan di rumah Abraham sangat teatrikal.

Setiap peserta harus memilih metode sendiri, mengenakan jubah abu-abu, merekam persetujuan, minum sampanye, membunyikan lonceng, dan menunggu ‘izin resmi’ dari Abraham yang selalu mengakhiri dengan ucapan, “Life is not for everyone.”

Kalau dibaca begitu saja, mungkin terdengar mengerikan. Terus eksekusinya di layar? Terasa mencoba menjual kematian sebagai solusi cepat. Alih-alih menciptakan ketegangan, aku justru merasa tergelitik melihat bagaimana dialog dan tata lakunya terlalu blak-blakan tanpa kedalaman emosi. 

Aku bisa paham jika Lisa Belcher ingin membuat penonton nggak nyaman, tapi film ini terasa lebih seperti eksperimen ide yang belum matang. Karakter-karakternya pun cenderung arketipal dan kurang berlapis. Semuanya seolah-olah cuma diletakkan untuk mewakili satu jenis penderitaan, tanpa upaya mendalami lebih jauh siapa mereka, apa konflik batinnya, atau kenapa mereka sampai pada keputusan itu.

Di tengah keringnya atmosfer cerita, aku harus mengakui Lukas Hassel yang jadi Abraham tuh cukup mencuri perhatian. Gaya bicaranya tenang tapi terasa palsu, seolah-olah menyembunyikan sesuatu di balik sorot mata yang datar. Sayangnya, pengembangan karakternya berhenti di sana.

Ya, aku nggak pernah benar-benar diajak menyelami motivasinya. Apa benar Abraham percaya bahwa kematian adalah bentuk kebebasan? Atau ini semua cuma kedok psikopat dengan topeng spiritualitas?

Sutradara Lisa Belcher tampaknya nggak tertarik ngasih jawaban. Dan itu sayang banget, karena potensi karakter Abraham sebagai tokoh antagonis bisa jauh lebih mencekam jika dikembangkan dengan lebih subtil.

Sebagai film horor, ‘House of Abraham’ nggak berhasil membangun atmosfer yang menyeramkan. Nggak ada buildup ketegangan yang membuat diriku gelisah, dan twist-nya pun bisa ditebak jauh sebelum film mencapai klimaks. 

Pada akhirnya, alih-alih ngasih ruang untuk perenungan, film ini lebih banyak menyodorkan gimmick kultus yang nggak menakutkan, karakter klise, dan naskah setengah matang.

Satu-satunya yang meninggalkan kesan hanyalah senyuman sinis Abraham dan jubah abu-abunya yang absurd. Sisanya, nyaris terlupakan.

Kalau Sobat Yoursay tertarik nonton film yang membahas topik gelap dengan pendekatan lebih sensitif dan menggigit, aku sih lebih merekomendasikan ‘Midsommar’ atau ‘The Lodge’.

Namun, bila kamu penasaran gimana rasa film horor dengan tema kultus yang hampir jadi parodi, mungkin ‘House of Abraham’ bisa jadi tontonan iseng. 

Skor: 1/5

Athar Farha