Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Oktavia Ningrum
Film Angel Pol (instagram/@filmangelpol)

Tayang perdana di bioskop pada 19 Juni 2025, Angel Pol menawarkan kombinasi unik antara musik dangdut koplo, satir sosial-politik, dan kisah cinta anak muda rantau dalam balutan kehidupan masyarakat Jawa yang kental. Di tengah dominasi film drama romantis atau horor lokal, film ini terasa seperti angin segar—meskipun tidak sepenuhnya mengguncang.

Disutradarai Hanny R Saputra dengan semangat lokalitas yang kuat, Angel Pol dibintangi oleh Michelle Ziudith sebagai Lastri, seorang gadis desa yang merantau ke kota demi pekerjaan. Sayangnya, impian itu langsung dibungkus dengan kenyataan pahit: Lastri menjadi korban calo kerja yang menipunya Rp3 juta, sebuah sindiran tajam untuk praktik pungli yang entah kenapa masih saja terjadi di zaman sekarang.

Kisah Lastri lalu bersinggungan dengan Jati, diperankan oleh Bhisma Mulia, seorang mahasiswa seni yang terpaksa berhenti kuliah karena beasiswanya dicabut. Alasannya? Ia tak ikut UAS karena terlibat utang-piutang keluarga dan penagih yang melibatkan perkelahian.

Meski memohon keringanan dan memberi alasan yang logis, beasiswa tersebut tetap dicabut dan Jati yang tidak bisa menbiayai kuliah harus mundur dari bangku kuliah. Ia memilih mengekspresikan kritik sosial melalui mural yang memuat isi sosial hingga politik. Sebuah bentuk perlawanan yang sederhana namun menyakitkan, mengingat dunia akademik sering kali menuntut tunduk, bukan berpikir bebas.

Pertemuan mereka terjadi di industri musik dangdut, tempat Lastri nyaris menjadi korban pelecehan oleh seorang manajer. Momen ini menjadi titik balik: Jati menolong Lastri, dan bersama-sama mereka membentuk grup orkes keliling yang perlahan naik daun. Kehadiran komika-komika lokal di film ini adalah keputusan cerdas—dialog mereka ringan, menggelitik, dan natural, memberikan napas humor yang tidak dibuat-buat di tengah isu-isu berat.

Selain Michelle dan Bhisma, film ini juga didukung oleh Jolene Marie sebagai Odelia dan Ananda George sebagai Kang Joni, yang memberi warna berbeda dalam dinamika cerita. Sayangnya, meski daftar pemeran kuat dan premis menjanjikan, Angel Pol terkesan terlalu berhati-hati. Konflik disuguhkan, tapi tidak benar-benar diperdalam. Film seolah ragu untuk menyentuh luka sosial dengan lebih tajam.

Misalnya, kasus penipuan calo yang sangat relevan, hanya disorot sebentar lalu lewat begitu saja. Begitu pula kritik terhadap dunia pendidikan dan politik yang hanya hadir sebagai latar, bukan sebagai pukulan reflektif. Mungkin ini disengaja, mungkin juga bentuk kompromi pada pasar. Namun sebagai penonton, kita berharap lebih banyak taji dari film dengan potensi sekuat ini.

Hubungan antara Lastri dan Jati juga digambarkan rumit, tapi tidak menyisakan bekas mendalam. Ada cinta, ada luka, ada pengorbanan—tapi semua disampaikan dalam tempo lambat dan agak tanggung. Padahal dinamika dua orang dari latar berbeda yang disatukan oleh musik dan perlawanan adalah peluang emas untuk membuat narasi yang lebih emosional.

Meski begitu, film yang diproduseri oleh Johansyah Jumberan tetap layak tonton. Terutama bagi kamu yang ingin menyaksikan potret Indonesia yang jenaka, getir, dan apa adanya. Isu yang diangkat benar-benar kerap terjadi namun dianggap angin lalu dan sepele karena terlalu marak. 

Film ini menggambarkan keadaan masyarakat terutama Jawa yang memegang prinsip sederhana, tenang, dan legawa (ikhlas). Sebesar apapun masalah, dibikin happy dan mari menari dan bernyanyi. 

Cukup ironis bahwa ketenangan dalam pusaran masyarakat justru berteriak nyaring bahwa kita telah kebal akan kriminalitas dan berbagai tindak kecurangan. Perlakuan atasan yang semena-mena tak lagi terlihat aneh dan tidak wajar karena terlalu banyak. 

Film ini juga mengingatkan kita bahwa pekerjaan seharusnya memberi penghasilan, bukan malah merampas simpanan terakhir. Bahwa kritik sosial tidak harus selalu lantang, tapi bisa juga dilantunkan lewat lirik dan panggung orkes keliling.

Dan yang paling penting: bahwa mimpi orang kecil tetap layak didengar, meski kadang tak sempat digemakan terlalu keras.

Oktavia Ningrum