Saat Mengalami trauma berat dan harus tinggal bersama orang itu untuk mengenalnya lebih dekat. Kedengarannya menarik? Atau justru menegangkan?
Itulah yang dialami Elizabeth, karakter yang diperankan Natalie Portman dalam Film May December (2023) buatan Sutradara Todd Haynes, yang mencoba menembus lapisan terdalam dari kisah cinta yang penuh luka dan kontroversi.
Film ini bukan hanya drama biasa karena menyinggung sesuatu yang jauh lebih rumit: isu grooming, relasi kuasa, dan dampak kekerasan seksual yang membekas seumur hidup.
Ceritanya sendiri terinspirasi dari kisah nyata pasangan Mary Kay Letourneau dan Vili Fualaau, yang pada tahun 90-an jadi sorotan dunia karena relasi cinta yang melibatkan guru dan muridnya yang masih anak-anak.
Sekilas tentang Film May December
Cerita May December yang tayang di KlikFilm dimulai ketika Elizabeth, aktris Hollywood yang ambisius, datang ke rumah Gracie (Julianne Moore), wanita paruh baya yang dulu sempat menghebohkan publik karena menjalin hubungan dengan Joe (Charles Melton), anak di bawah umur. Elizabeth berkunjung untuk mengobservasi karakter Gracie demi mempersiapkan perannya dalam film terbarunya.
Gracie dan Joe sudah jadi pasangan suami-istri, hidup dengan tenang di sebuah rumah tepi pantai, membesarkan anak-anak remaja, dan seolah-olah melupakan kegemparan masa lalu mereka.
Namun, kehadiran Elizabeth perlahan mengusik kembali luka-luka lama. Dia nggak cuma meneliti Gracie untuk memahami karakternya, tapi juga tanpa sadar mengorek kembali trauma dan kegamangan dalam diri Joe. Sosok Joe digambarkan sebagai pria pendiam yang hidup dalam kebiasaan dan kesederhanaan, tapi dalam diamnya, ada sisa-sisa penyesalan dan keraguan yang belum pernah benar-benar selesai.
Sekelam itu memang, masa lalu pasangan satu ini. Lalu bagaimana dengan performa film ini? Sini kepoin lebih lanjut!
Impresi Selepas Nonton Film May December
Kuakui, skenario yang ditulis Sammy Burch dan Alex Mechanik menggunakan simbol untuk menggambarkan perkembangan emosi tokohnya. Joe, yang menyukai ulat dan proses metamorfosis menjadi kupu-kupu, seolah-olah menjadi cerminan dari dirinya sendiri. Yakni, seseorang yang tumbuh, tapi tumbuh dalam tekanan, luka, dan kebingungan.
Sayangnya, simbolisme ini, meskipun cantik, terasa terlalu abstrak dan kurang dalam dari sisi dialog maupun dramatisasi. Film ini punya potensi besar untuk menelusuri kompleksitas psikologis para tokohnya, tapi sebagian terhambat, terkait cara pengisahan yang cenderung menahan diri. Ibarat api yang dinyalakan, tapi nggak pernah dibiarkan membakar sepenuhnya.
Untungnya, film ini diselamatkan performa dua aktris kelas atas. Julianne Moore tampil maksimal sebagai Gracie yang di satu sisi terlihat tenang dan terkontrol, tapi di sisi lain menyimpan banyak hal yang belum tuntas dari masa lalu. Ya, dia menjadi sosok yang menolak rasa bersalah, tapi juga nggak sepenuhnya damai dengan keputusan hidupnya.
Sementara Natalie Portman membawa karakter Elizabeth sebagai aktris yang lugu sekaligus tajam, selalu memperhatikan, mencatat, dan menyerap emosi dari orang-orang di sekitarnya. Penampilan keduanya begitu kuat dan intens, dan menjadi alasan kenapa film ini terasa hidup meski naskahnya terkesan menahan diri untuk ‘blak-blakan’.
Kelemahan film ini ada pada pilihan sudut pandang. Alih-alih menjadikan Gracie sebagai pusat narasi, film lebih banyak mengikuti perspektif Elizabeth. Akibatnya, aku nggak sepenuhnya bisa menyelami lapisan terdalam dari Gracie, yang sebenarnya menyimpan potensi dramatisasi luar biasa.
Akan sangat menarik jika Todd Haynes memilih pendekatan yang lebih mendalam terhadap Gracie. Apalagi Julianne Moore pernah tampil luar biasa dalam karakter-karakter yang serupa, misalnya karakter Amber Waves dalam Film Boogie Nights.
Andai saja fokusnya lebih condong ke sosok Gracie, bukan nggak mungkin film ini bisa mencapai level emosional yang jauh lebih kuat dan menyentuh.
Film ini memang membuka ruang untuk membaca ulang praktik relasi yang timpang usia secara lebih kritis. Dalam budaya masa kini, kita kerap menjumpai narasi yang menormalisasi hubungan semacam ini. Misalnya dalam Film Manhattan (1979) besutan Woody Allen, atau Whatever Works (2009), di mana lelaki dewasa digambarkan menjalin hubungan dengan perempuan muda yang belum matang secara emosional.
Atau kalau mau melihat contoh yang lebih sensitif, kita bisa mengingat Film The Perks of Being a Wallflower (2012), yang mengangkat bagaimana kekerasan seksual di masa kecil terus menghantui tokohnya di usia remaja.
Film-film seperti itu menjadi penting untuk mengajak penonton berpikir ulang, seberapa besar luka yang tertinggal dari relasi yang tampak ‘romantis’ permukaan, tapi sebenarnya penuh manipulasi?
Pada akhirnya, Film May December memang menggugah, menyentil, dan menyimpan potensi besar. Sayangnya, potensi itu terasa belum dieksplorasi maksimal.
Meski begitu, film ini tetap penting karena membuka diskusi tentang grooming dan trauma dalam relasi yang timpang kuasa. Adapun rating pribadi, yakni 3/5.
Mungkin film ini bukan untuk semua orang, tapi buat Sobat yang mau berpikir dan menyelami sesuatu yang nggak nyaman, ‘May December’ bisa jadi salah satu tontonan yang membekas lama setelah kredit penutup menghilang.
Baca Juga
-
Nggak Harus Sedarah, Keluarga Bisa Lahir dari Tempat yang Tidak Terduga
-
Potret Rumitnya Keluarga dalam Film My Mother's Wedding
-
Terkadang, Kamu Hanya Perlu Nonton Film Buat Sembuh dari Luka Batin
-
Review Film Tatami: Ketika Arena Olahraga Jadi Medan Perang Politik
-
Review Film She Rides Shotgun: Kejutan Emosional dalam Pelarian Brutal
Artikel Terkait
Ulasan
-
Segar, Menyantap Somtam Thailand Kuah Asam di Raules Cafe & Resto
-
Review Film Weapons: Horor Non-Linear dengan Atmosfer Super Mencekam
-
Santap Sambal Mangga dan Bebek Gurih di Dapur Makcik, Bikin Ketagihan
-
Ulasan Novel The Game is Murder: Perjalanan Memecahkan Misteri di Tahun 1974
-
Novel Sang Penyusup (Only Daughter), Thriller Psikologis Penuh Jebakan
Terkini
-
2 Alasan Jay Idzes Bakal Jadi Andalan Sassuolo Meski Harus Bersaing dengan Banyak Nama
-
Bergenre Rock, Chanyeol EXO Ungkap Pesan Kuat di Lagu Terbaru Bertajuk Upside Down
-
Produser Beri Sinyal The Pitt Season 2 yang Akan Tayang Awal Bulan Januari 2026
-
Matthew Baker Petik Pelajaran Positif dari Hasil Imbang Kontra Tajikistan
-
Optimis Sambut MotoGP Austria 2025, Jorge Martin: Saya Lebih Siap Kali Ini!