Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Inggrid Tiana
Squid Game 3 (Netflix)

Saya masih ingat betul ketika Squid Game pertama kali muncul tahun 2021. Series asal Korea Selatan ini langsung mencuri perhatian dunia karena keberhasilannya menggabungkan permainan masa kecil dengan realitas sosial yang getir.

Kini, memasuki musim ketiga, saya kembali duduk di depan layar dan bertanya-tanya, apa lagi yang bisa ditawarkan dari sebuah permainan hidup dan mati yang sudah begitu ikonik? Ternyata, cukup banyak. Tapi tidak semuanya berjalan mulus.

Squid Game 3 dibuka tepat setelah kekacauan besar di akhir musim sebelumnya. Gi-hun (Lee Jung-jae) kini bukan lagi pria penuh semangat yang ingin menggulingkan sistem dari dalam.

Setelah kehilangan sahabatnya, Jung-bae, Gi-hun berubah menjadi sosok yang suram, tenggelam dalam rasa bersalah, dan penuh amarah. Perjalanan emosionalnya kali ini jauh lebih dalam dan personal.

Cerita semakin rumit ketika Dae-ho (Kang Ha-neul), sosok yang sebelumnya tampak dapat diandalkan, justru mundur di saat genting. Keputusannya untuk tidak ikut melawan secara tidak langsung menyebabkan jatuhnya banyak korban.

Konflik antara Gi-hun dan Dae-ho menjadi salah satu bagian yang paling menegangkan dalam musim ini. Ini bukan lagi soal melawan sistem, tapi tentang rasa kecewa pada sesama manusia.

Seperti dua musim sebelumnya, permainan baru kembali diperkenalkan. Namun kali ini, salah satu yang paling mencolok adalah versi ekstrem dari permainan petak umpet, peserta dibagi menjadi dua tim dan dipaksa saling memburu dengan senjata tajam. Tidak lagi sekadar metafora, permainan ini benar-benar memaksa para pemain untuk membunuh secara langsung.

Review Squid Game 3

Bagi saya pribadi, ini adalah titik di mana Squid Game mulai menyentuh lapisan paling dalam, yakni bahwa dalam sistem yang kejam, kita bisa kehilangan arah moral. Kita bisa jadi penonton yang bertanya, “Kalau saya di posisi mereka, apa yang akan saya lakukan?”

Satu hal yang patut diapresiasi adalah keberanian sutradara Hwang Dong-hyuk untuk tidak menjadikan Gi-hun sebagai sosok pahlawan sempurna. Justru sebaliknya, karakter ini ditampilkan rapuh, penuh keraguan, dan kadang membuat keputusan yang menyakitkan. Hal ini membuatnya terasa lebih nyata dan lebih manusiawi.

Namun, tidak semua elemen dalam musim ini terasa solid. Misalnya, kehadiran para VIP, penonton kaya raya yang menjadi bagian dari sistem permainan, justru menjadi titik lemah. Porsi mereka yang semakin besar tidak dibarengi dengan pendalaman karakter. Dialog mereka terdengar aneh dan bahkan terlalu teatrikal, tidak sejalan dengan tone cerita yang seharusnya serius.

Dan kemudian muncul suatu twist, salah satu pemain yakni pemain 222 melahirkan bayi di tengah permainan, dan bayi tersebut dijadikan peserta baru. Awalnya terasa aneh, namun secara simbolis, adegan ini menyampaikan pesan yang sangat kuat, bahwa bayi pun bisa menjadi korban sistem yang tidak manusiawi.

Pertarungan akhir antara Gi-hun dan Myung-gi (Yim Si-wan) menjadi penutup yang sangat mengesankan. Sinematografinya indah, dan intensitas emosinya terasa nyata.

Namun jangan berharap ending yang bahagia, karena Squid Game tidak memberi penonton kenyamanan berupa kemenangan. Justru sebaliknya, kita diingatkan bahwa dalam sistem yang rusak, kemenangan pun bisa terasa hampa.

Saya menyukai keputusan Hwang Dong-hyuk untuk tidak menutup cerita dengan bahagia. Ini membuat series ini tetap konsisten dengan pesan utamanya sejak awal, yakni bahwa dunia yang kita huni tak selalu memberi ruang untuk keadilan. Dan kadang, yang bertahan hidup bukanlah mereka yang paling baik, tapi mereka yang paling beruntung.

Squid Game 3 memang tidak sempurna. Ada bagian yang terasa berlebihan, ada pula yang terasa tidak digarap dengan maksimal. Namun di balik semua itu, series ini tetap kuat sebagai sebuah cermin sosial. Ia berbicara tentang trauma, kekuasaan, ketimpangan, dan pilihan-pilihan sulit yang harus diambil ketika hidup menggiring kita ke sudut.

Bagi saya, Squid Game bukan sekadar hiburan. Ini adalah pengingat bahwa dunia sering kali tak adil. Bahwa kita semua, dalam bentuk dan cara yang berbeda, sedang memainkan permainan yang kadang tak bisa kita menangkan.

Kalau kamu suka tontonan yang bisa bikin merenung, musim ketiga ini masih sangat layak untuk ditonton. Tapi jangan berharap ada jawaban yang memuaskan. Karena mungkin, memang itulah kenyataannya.

Inggrid Tiana