Seorang perempuan muda bekerja sebagai asisten rumah tangga bagi mantan profesor matematika jenius yang mengalami cedera otak. Karena kecelakaan itu, ingatan professor hanya bisa bertahan 80 menit saja.
Setelah itu, semuanya terhapus, kecuali memori sebelum kecelakaan. Untuk mengingat hal-hal penting, ia menempelkan catatan-catatan kecil di jasnya: ukuran sepatu, makanan favorit, tanggal tertentu.
Sang Housekeeper yang awalnya datang sekadar bekerja untuk memasak, membersihkan, menjaga ritme harian.
Namun melalui angka-angka yang selalu mencuri perhatian Profesor, bilangan prima, faktorial, angka ramah (amicable numbers) perlahan tercipta hubungan lembut antara mereka, termasuk putra sang Housekeeper yang kemudian dijuluki “Root” oleh Profesor karena rambutnya yang runcing seperti tanda akar kuadrat.
Dalam rumah kecil itu, matematika berubah menjadi jembatan emosi, menghubungkan tiga kehidupan yang berbeda melalui perhatian, kesabaran, dan rasa hormat.
Cara Ogawa menyisipkan matematika sebagai bahasa emosional. Teorema dan angka-angka bukan hanya pelengkap, tapi justru menjadi cara Profesor mengekspresikan kehangatan dan keterhubungan.
Kasih sayang sang Profesor hadir dalam cara ia menjelaskan bilangan ramah dan angka persegi, bukan lewat kata-kata, melainkan lewat logika yang lembut dan penuh makna.
Setiap angka bukan sekadar hitungan, tapi caranya merangkul dunia yang terus melupakannya.
The Housekeeper and the Professor adalah kisah yang tenang namun menyentuh.
Tentang kepingan ingatan yang tak utuh, tentang matematika yang menjadi jembatan, dan tentang kedekatan manusia yang tumbuh pelan-pelan di dalam rumah kecil yang dipenuhi perhatian, kesabaran, dan kasih yang diam-diam tumbuh setiap hari.
Tak hanya soal angka, novel ini juga membawa pembaca pada momen-momen hening yang menyentuh.
Seperti menyeduh teh, menyiapkan makan malam, atau mendengarkan denting detik jam yang berjalan, hal-hal kecil yang justru menyingkap kedalaman relasi yang dibangun perlahan.
Emosi-emosi itu terasa nyata, meski tersampaikan lewat gestur acak dan percakapan yang singkat.
Di balik narasi yang tenang, tersembunyi percikan emosi yang mendalam, bukan lewat kata-kata besar atau drama mencolok, tapi lewat bilangan prima, angka favorit, dan sepiring makanan hangat.
Keterbatasan memori 80 menit menciptakan ritme unik. Setiap hari seperti awal baru. Alih-alih menjadi tragedi melodramatis, Ogawa menyajikannya sebagai latihan hadir di saat ini.
Meskipun ringan, buku ini sangat menarik. Ia mampu bisa memberikan perasaan senang sekaligus haru ketika membacanya.
Relasi antara Profesor, Housekeeper, dan Root membentuk keluarga kecil yang tidak berdasarkan darah, melainkan perhatian. Momen makan malam sederhana, percakapan tentang angka jersey pemain bisbol, atau kebahagiaan kecil saat Root dipuji.
Semuanya menyusun mosaik emosional yang halus. Novel ini mengingatkan kepada pembaca bahwa kedekatan bisa saja terjalin karena kebiasaan yang dilakukan berulang kali, bukan dari hal-hal besar.
Ogawa dengan tenang memasukkan detail keseharian: menyiapkan bento, etika sopan santun, menyebut orang dengan gelar kehormatan, hingga penghormatan terhadap pendidikan dan intelektualitas.
Bahasa Ogawa lembut, bersih, dan ekonomis. Ia jarang menggurui. Emosi muncul dari gestur kecil: cara Profesor mengernyit saat menghitung, cara Housekeeper menahan tanya, cara Root memandang keduanya. Jika kamu menyukai narasi yang tenang tapi menggugah, mirip rasa teh hangat di hari hujan, novel ini akan cocok.
The Housekeeper and the Professor adalah kisah tentang waktu yang terpotong, namun juga tentang kasih yang tak pernah habis meski harus dimulai ulang setiap hari. Dalam angka-angka yang tampak dingin, Ogawa menyalakan kehangatan kemanusiaan.
Sebuah novel kecil yang lembut, tetapi akan tinggal lama dalam ingatan, bahkan setelah halaman terakhir ditutup.
Baca Juga
-
Buku The Productive Muslim: Menggabungkan Iman dalam Produktivitas Muslim
-
Ulasan Buku Dont Be Sad, Motivasi Islami yang Menenangkan Jiwa
-
Menemukan Bahagia di Tengah Hidup yang Kacau dalam Buku How To B Happy
-
Isu Mental Health dalam Buku Kupikir Segalanya Akan Beres Saat Aku Dewasa
-
3 Rekomendasi Buku Islam Anak, Kisah Menyentuh dan Ilustrasi yang Menarik
Artikel Terkait
Ulasan
-
Review Film Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah: Drama Keluarga yang Bikin Hati Mewek
-
Ulasan Novel Tanah Para Bandit: Ketika Hukum Tak Lagi Memihak Kebenaran
-
5 Drama Korea Psikologis Thriller Tayang di Netflix, Terbaru Queen Mantis
-
Review Film Menjelang Magrib 2, Nggak Ada Alasan Buat Dilanjutkan!
-
Kala Film The Conjuring: Last Rites, Mengemas Lebih Dalam Arti Kehilangan
Terkini
-
4 Padu Padan OOTD Chic ala Yunjin LE SSERAFIM, Stylish Buat Segala Suasana!
-
Kesejahteraan Guru Terancam? Menag Bilang 'Cari Uang, Jangan Jadi Guru!'
-
4 Rekomendasi Serum Vitamin C Terjangkau untuk Pelajar dengan Kulit Cerah
-
Band-Aid oleh KickFlip: Hadapi Sakitnya Patah Hati dan Merindukan Seseorang
-
Rieke Diah Pitaloka Bela Uya Kuya dan Eko Patrio: 'Konyol Sih, tapi Mereka Tulus!'