Hayuning Ratri Hapsari | Zuyyina Laksita Dewi
Potret Pemeran Utama Film Rangga & Cinta (instagram.com/filmranggacinta)
Zuyyina Laksita Dewi

Film Rangga dan Cinta hadir sebagai remake dari Ada Apa dengan Cinta? (2002), yang diangkat dari novel laris karya Silvarani berjudul sama.

Sebagai generasi milenial yang tumbuh bersama karya Mira Lesmana dan Riri Riza, saya merasa antusias menantikan film ini. Karena saya tidak pernah melewatkan karya beliau yang indah dari Petualangan Sherina 1 dan 2, Ada Apa dengan Cinta, Laskar Pelangi, dan lainnya. 

Ketika AADC pertama tayang di bioskop tahun 2002, saya masih duduk di bangku SD. Namun, saya baru menontonnya ketika sudah SMP kelas 1, lewat siaran televisi.

Menariknya, meski saya lebih muda dari latar cerita yang menggambarkan kehidupan anak SMA, saya tetap bisa ikut deg-degan, senyum-senyum sendiri, bahkan baper melihat interaksi Rangga dan Cinta.

Yang membuat saya kagum sejak dulu adalah bagaimana film ini berhasil menampilkan sesuatu yang berbeda. Banyak film remaja saat itu cenderung menggambarkan kisah cinta antara cowok ganteng populer dengan cewek populer, atau sebaliknya.

AADC justru menghadirkan sosok Rangga yang penyendiri, penyuka sastra, dan jauh dari stereotip bintang basket yang punya banyak penggemar. Itulah yang membuat ceritanya terasa segar dan tak biasa.

Saking sukanya, saya bahkan menonton ulang film ini di usia yang lebih dewasa. Maka, ketika remake Rangga dan Cinta dirilis, ada rasa penasaran bercampur nostalgia.

Memang, sebagai generasi milenial, sulit untuk tidak membandingkan dengan versi 2002. Namun, yang mengejutkan, saya tetap bisa menikmatinya.

Dengan kehadiran El Putra Sarira, Leya Princy, Jasmine Nadya, Katyana Mawira, Rafi Sudirman, dan kawan-kawan, film ini mencoba menghidupkan kembali chemistry legendaris itu dengan pendekatan baru.

Beberapa adegan ada yang direvisi, dipadatkan, bahkan diberi sentuhan musikal yang menjadikannya berbeda dari versi lawas. Dan bagi saya pribadi, itu cukup berhasil.

Sejak menit awal, saya bahkan sempat meneteskan air mata. Rasanya seperti ditarik kembali ke masa lalu ketika soundtrack ciptaan Melly Goeslaw dan Anto Hoed kembali diperdengarkan, kali ini dibawakan generasi baru. Lagu-lagu itu memang sudah mendarah daging dalam ingatan saya, sehingga setiap nadanya terasa menohok nostalgia.

Apa yang berbeda?

Sebagai penikmat AADC, saya merasa Rangga dan Cinta berhasil memberi nuansa baru. Jika Rangga di versi lama digambarkan dingin, misterius, dan tak tersentuh, maka di versi ini El Putra menghadirkan sisi Rangga dengan kedalaman karakter yang lebih lengkap.

Seperti yang pernah diungkap Nicholas Saputra yang kini juga menjadi salah satu produser bahwa El Putra bahkan terasa “lebih Rangga” daripada dirinya dulu. Ada kikuk, canggung, tapi juga kelembutan khas sosok “underrated boy” yang sebenarnya lebih dekat dengan Rangga di Novel Silvarani.

Lalu bagaimana dengan Cinta?

Tak bisa dipungkiri, banyak yang menilai karakter Cinta egois dan bahkan red flag. Sejak awal cerita, dialah yang memicu konflik yang dimulai dari rasa tak terima Rangga memenangkan lomba puisi hingga kemudian meninggalkan Rangga dengan alasan ingin “memilih teman-temannya.”

Padahal, kalau dilihat lebih dalam, teman-temannya tak pernah benar-benar melarang ia berhubungan dengan siapa pun.

Namun, perspektif saya terhadap Cinta berubah seiring bertambahnya usia. Kini, di usia 32 tahun, sebagai seorang ibu sekaligus penulis fiksi, saya justru melihat sisi manusiawi dari Cinta. Ia hanyalah remaja 16–17 tahun yang rapuh dan labil.

Ketakutan kehilangan teman geng pada usia itu sangat valid, dan membuat pilihan yang salah adalah sesuatu yang lumrah terjadi. Justru lewat kerapuhan itu, karakter Cinta bisa tumbuh. Dari kesalahan, ia belajar dan dari luka, ia berkembang. Dan itulah yang membuatnya terasa dekat dengan kita sebagai penonton.

Rangga dan Cinta bukan sekadar remake, buat saya, film ini adalah jembatan emosional yang menghubungkan generasi lama dan baru. Bagi milenial seperti saya, film ini menghadirkan nostalgia yang hangat, sekaligus kesempatan untuk melihat kembali tokoh-tokoh ikonik dengan sudut pandang yang lebih dewasa.

Ada perbedaan, ada penyegaran, tapi rasa yang ditinggalkan tetap sama: deg-degan, baper, dan terhanyut dalam kisah sederhana tentang cinta, persahabatan, dan pencarian jati diri.