Sekar Anindyah Lamase | Miranda Nurislami Badarudin
Novel Ketika (Dok. Pribadi/Miranda)
Miranda Nurislami Badarudin

Ada satu momen yang sering tidak diceritakan orang: masa-masa setelah menikah. Orang senang bercerita soal lamaran, resepsi, bunga, foto pre-wedding; tapi jarang ada yang jujur tentang apa yang terjadi ketika pintu rumah ditutup dan dua orang yang berbeda harus mulai hidup berdampingan.

Novel Ketika karya Ria Pohan masuk ke wilayah itu, bukan dengan drama yang menguras air mata, tapi dengan detail-detail kecil yang justru terasa paling masuk akal dan paling dekat dengan keseharian.

Kisah Deya dan Narendra sebenarnya sederhana. Mereka menikah, lalu… ya, hidup seperti pasangan pada umumnya. Tapi di sanalah daya tariknya. Deya adalah definisi “hidup ngalir saja”—spontan, ceroboh, dan sering mengikuti mood.

Sementara Narendra adalah kebalikannya, ia rapi, terencana, dan punya cara sendiri untuk mengatur hidup. Dua karakter ini tidak diciptakan untuk saling bertentangan secara ekstrem, tapi cukup berbeda untuk membuat setiap hari mereka seperti latihan kecil soal toleransi.

Ruang Tamu yang Menjadi Arena Adaptasi

Novel ini dimulai dengan suasana yang akrab: dua orang yang baru saja menikah mencoba menata hidup di bawah satu atap.

Tidak ada ledakan konflik, tidak ada rahasia besar yang meledak. Yang ada adalah hal sederhana seperti lemari yang terlalu penuh, sandal yang tidak pernah kembali ke tempatnya, atau rencana harian yang selalu berubah hanya karena Deya teringat hal lain di detik terakhir.

Ria Pohan menulis semua itu seperti ia duduk di sofa, melihat dua tokoh ini berinteraksi sambil mengangkat alis, “Nah, ini nih… masalah kecil yang bisa bikin hari ribut sendiri.” Dan memang begitu adanya.

Dalam hubungan, yang sering memicu kekesalan bukan kejadian besar, tapi rutinitas-rutinitas kecil yang tidak sinkron.

Dua Cara Pandang, Dua Cara Bertahan

Salah satu kekuatan novel ini adalah penyajian dua sudut pandang. Pembaca bisa masuk ke kepala Deya, ikut merasakan ketidakberaturan hidupnya, lalu berpindah ke pikiran Narendra yang cenderung linear dan praktis. Teknik ini membuat pembaca tidak otomatis memihak salah satu.

Misalnya, ketika Narendra bersikap terlalu terstruktur, kita mungkin merasa ia kaku. Tapi ketika bab berikutnya memperlihatkan betapa kerasnya usaha Narendra untuk menyesuaikan diri dengan Deya, keadaannya jadi berbeda. Kita ikut melihat bahwa ia tidak sedang berusaha mengatur segalanya; ia hanya terbiasa hidup dengan pola tertentu.

Struktur ini membuat novel terasa kaya, bukan karena ceritanya rumit, tetapi karena kita diberi akses penuh ke dua cara berpikir yang sama-sama sah. Pembaca merasa seperti orang ketiga yang ikut tinggal serumah bersama mereka.

Humor yang Tumbuh Dari Kebiasaan

Komponen humor dalam Ketika menarik karena tidak dibuat-buat. Tidak ada adegan slapstick atau dialog lucu yang dipaksakan. Humor muncul dari situasi alami: Deya yang spontan, komentar-komentar kecil, atau reaksi Narendra yang terlalu serius terhadap hal-hal sederhana.

Humor seperti ini membuat pembaca merasa seperti sedang mendengar cerita dari teman: ringan, sehari-hari, dan tidak berlebihan.

Dan justru di situ keunikannya. Novel ini tidak berusaha lucu, tapi akhirnya memang lucu karena ia jujur. Banyak pasangan mungkin akan membaca sambil mumbling, “Ini gue banget,” atau “Ini kayak suami/istri gue.”

Konflik yang Tidak Didramatisasi

Kebanyakan novel romance menciptakan konflik besar—perselingkuhan, perpisahan, trauma masa lalu yang berat. Ketika tidak memilih jalan itu.

Ia fokus pada friksi-friksi kecil: salah paham, emosi yang tidak diucapkan, kebiasaan yang tidak cocok, serta proses belajar untuk menyampaikan keinginan tanpa membuat pasangan merasa disalahkan.

Yang menarik adalah bagaimana Ria Pohan tetap membuat konflik ini terasa penting. Ia tidak menganggap remeh hal-hal kecil. Ia tahu bahwa kehidupan sehari-hari sering kali ditentukan bukan oleh satu masalah besar, tetapi oleh ratusan detail kecil yang menumpuk jika tidak diselesaikan.

Buku novel ini seperti menegaskan bahwa hubungan sehat bukan berarti tidak ada pertengkaran, tetapi mampu mengelola perbedaan tanpa meledakkannya menjadi masalah besar.

Deya, Narendra, dan Seni Bertumbuh Bersama

Karakter Deya menjadi fokus menarik karena ia ditulis apa adanya. Ia bukan tokoh perempuan yang serba bisa atau tiba-tiba berubah hanya karena sudah menikah.

Ia tetap ceroboh, tetap berantakan, dan tetap emosional. Tetapi di balik itu, ia mau belajar—pelan, kadang tersendat, tapi nyata. Narendra pun tidak sempurna. Ia terlalu terstruktur dan kadang lupa bahwa manusia punya ritme yang tidak selalu bisa diprediksi.

Hubungan mereka akhirnya bukan tentang mengubah pasangan, tetapi menata ruang bersama: sebagian mengikuti Deya, sebagian lagi mengikuti Narendra. Dan ruang itu lama-lama menjadi rumah.

Arah yang Dibawa Novel Ini

Setelah mengikuti perjalanan dua tokoh ini dari halaman ke halaman, pembaca akan merasa bahwa Ketika bukan novel yang ingin tampil heboh.

Ia ingin jujur. Ia ingin menunjukkan bahwa dinamika rumah tangga tidak selalu penuh guncangan dramatis; kadang justru yang paling berarti adalah usaha kecil: menahan ego, mencoba mendengar, atau sekadar memindahkan barang ke tempat yang sesuai agar pasangan merasa diperhatikan.

Novel ini mengajak pembaca untuk melihat hubungan secara lebih tenang—tidak terburu-buru menghakimi, tidak cepat memilih siapa yang salah. Ia seperti berkata, “Begini, loh, rasanya hidup bersama seseorang yang karakter dan polanya beda banget. Sederhana, tapi tidak pernah mudah. Dan itu tidak apa-apa.”

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS