Hikmawan Firdaus | Miranda Nurislami Badarudin
Novel Rude Beautiful Girl (DocPribadi/Miranda)
Miranda Nurislami Badarudin

Ada kalanya seseorang tampak terlalu dingin untuk didekati. Kata-katanya tajam, sikapnya kaku, dan senyumnya seperti sesuatu yang mahal untuk diberikan. Namun, siapa sangka, di balik semua itu ada hati yang pernah dipatahkan, lalu belajar berdiri dengan cara yang tak biasa.

Diandra Putri, tokoh utama dalam novel Rude Beautiful Girl karya Trivia Indriani, adalah potret nyata dari hal itu—seorang perempuan yang memagari dirinya dengan sikap “rude”, bukan karena sombong, tapi karena luka lama yang belum benar-benar sembuh.

Sikap Kasar yang Tumbuh dari Luka

Novel ini membuka kisah dengan kehadiran Diandra, seorang perempuan muda yang cerdas, mandiri, dan… menyebalkan bagi sebagian orang. Ia tak segan menolak orang yang menyukainya, bahkan dengan kalimat yang terdengar “jahat”. Tapi lewat narasi Trivia, pembaca segera menyadari bahwa “kasar” bagi Diandra bukan sekadar sifat, melainkan mekanisme bertahan hidup. Ia menolak lebih dulu agar tidak kembali disakiti. Ia bersikap dingin karena pernah hangus oleh panasnya rasa percaya yang dikhianati.

Trivia Indriani menulis karakter Diandra dengan kedalaman emosional yang jarang ditemukan di kisah romance populer. Kita tidak diminta untuk menyukai tokoh ini secara instan. Justru, penulis mengajak kita untuk memahami: bahwa manusia bisa menjadi keras karena dunia pernah terlalu keras padanya.

Alexandro dan Cinta yang Tidak Memaksa

Kehadiran Alexandro Wijaya menjadi semacam kontras dalam hidup Diandra. Di saat orang lain menjauh karena sikapnya yang sinis, Alex justru bertahan. Ia tidak datang untuk menjinakkan Diandra, melainkan untuk memahami. Cinta dalam Rude Beautiful Girl terasa lebih matang—tidak didorong oleh obsesi, melainkan oleh keinginan untuk tumbuh bersama.

Trivia mengajak pembaca melihat cinta bukan sebagai alat perubahan, tetapi sebagai ruang penerimaan. Alex tidak memaksa Diandra untuk menjadi lembut, ia hanya menunjukkan bahwa di balik setiap tembok ada seseorang yang pantas dicintai dengan sabar. Nilai inilah yang membuat kisah ini berbeda: cinta di sini bukan kemenangan atas ego, melainkan perjalanan dua hati yang saling belajar bertahan.

Kejujuran Emosional Seorang Perempuan

Menariknya, novel ini tidak menampilkan perempuan ideal yang selalu lemah lembut atau penurut. Diandra justru tampil apa adanya: kadang menyebalkan, kadang rapuh, tapi selalu jujur dengan perasaannya. Trivia seperti ingin berkata bahwa perempuan tidak harus selalu disukai semua orang untuk disebut “baik”.

Ada keberanian dalam cara Diandra mengekspresikan diri—bahkan ketika itu membuat orang lain tidak nyaman. Ia menunjukkan sisi lain dari femininitas: bukan kelembutan yang pasif, melainkan kekuatan yang datang dari keberanian untuk tidak menyenangkan siapa pun selain dirinya sendiri.

Realisme Bahasa dan Kehangatan yang Diam-Diam Menyentuh

Gaya bahasa Trivia Indriani terasa hidup dan jujur. Dialognya tidak dibuat manis, tapi realistis; karakter-karakternya berbicara seperti manusia sungguhan yang punya batas kesabaran. Diandra mungkin terlihat kejam lewat kata-katanya, tapi semakin jauh kita membaca, semakin terasa bahwa setiap kalimatnya menyimpan sisa-sisa luka yang masih membekas.

Ada kehangatan yang muncul perlahan, tanpa dipaksakan. Seperti sinar matahari yang menyelinap di sela jendela setelah hujan panjang, pembaca bisa merasakan perubahan Diandra bukan karena seseorang “mengubahnya”, tetapi karena ia mulai berdamai dengan dirinya sendiri.

Pesan yang Tersisa

Pada akhirnya, Rude Beautiful Girl bukan hanya kisah cinta antara dua insan berbeda karakter. Lebih dari itu, ia adalah cerita tentang proses penyembuhan diri, tentang bagaimana seseorang yang tampak kuat sebenarnya sedang berusaha melindungi hatinya yang rapuh. Buku Novel ini mengajarkan bahwa setiap orang punya cara sendiri untuk bertahan, dan kadang, ketegaran yang terlihat dingin justru adalah bentuk kasih sayang pada diri sendiri.

Trivia Indriani berhasil mengemas kisahnya dengan paduan antara realisme dan empati, menghadirkan sosok perempuan yang tidak sempurna tapi nyata. Melalui Diandra Putri, pembaca diajak merenungi bahwa menjadi “rude” bukan berarti kehilangan sisi manusiawi—kadang justru di situlah letak keindahan yang sesungguhnya: keindahan dalam keberanian untuk tetap berdiri meski hati pernah hancur.