Film drama sejarah Suffragette, yang disutradarai oleh Sarah Gavron dan ditulis oleh Abi Morgan, membawa kita kembali ke London tahun 1912. Di tengah kota metropolitan yang tampak modern, tersembunyi ketidakadilan yang merenggut hak dasar kaum perempuan. Film ini bukan hanya tentang sejarah, tetapi juga sebuah renungan yang kuat mengenai harga dari sebuah kesetaraan.
Berbeda dengan ekspektasi banyak orang yang mungkin mengira film ini akan berfokus pada figur historis terkenal seperti Emmeline Pankhurst, namun film Suffragette justru memilih jalur yang lebih personal dan menyentuh. Cerita berpusat pada Maud Watts (Carey Mulligan), seorang perempuan pekerja biasa.
Maud hanyalah salah satu dari ribuan buruh cuci yang dieksploitasi, menghadapi jam kerja panjang dan upah rendah di sebuah binatu yang suram. Kehidupannya yang keras sebagai istri dan ibu mulai berubah ketika ia secara tak sengaja terseret ke dalam gerakan Women's Social and Political Union (WSPU), yang para anggotanya dikenal sebagai "Suffragette" perempuan militan yang memperjuangkan hak pilih.
Kesadaran Maud dimulai dari penderitaan sehari-hari yang ia anggap sebagai "nasib" seorang wanita. Ia bekerja di binatu yang keras dan suram sejak usia tujuh tahun, sebuah lingkungan yang secara brutal menggambarkan eksploitasi ekonomi dan fisik. Seperti banyak rekan kerjanya, secara rutin menjadi sasaran pelecehan oleh atasan laki-laki mereka, Mr. Taylor. Pelecehan ini tidak hanya merendahkan martabat tetapi juga merupakan syarat tidak tertulis untuk mempertahankan pekerjaan. Mereka tidak memiliki sarana hukum atau sosial untuk melawan, membuat tempat kerja menjadi zona bahaya yang kejam.
Perempuan dibayar jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki untuk pekerjaan yang sama, dan upah Maud hanya cukup untuk mempertahankan hidupnya, tanpa memberikan peluang untuk mobilitas ekonomi atau keamanan finansial. Kehidupan Maud ditentukan oleh ketergantungannya pada suami dan pengontrolan mutlak oleh atasan.
Penderitaan ini berfungsi sebagai pembelajaran pertama Maud tentang ketidakadilan sebuah sistem di mana nilai seorang perempuan hanya dilihat dari tenaga kerjanya yang murah dan ketersediaannya secara seksual, tanpa pengakuan atas kemanusiaan atau hak-haknya.
Titik balik yang benar-benar mendorong Maud untuk berkomitmen pada gerakan Suffragette adalah ketika sistem patriarki merenggut haknya sebagai seorang ibu. Ini adalah pukulan paling telak yang menunjukkan kepadanya bahwa tanpa hak politik,seorang wanita secara hukum tidak diakui sebagai individu yang setara.
Setelah Maud secara terbuka menjadi anggota WSPU dan ditangkap, suaminya, Sonny Watts, merasa malu, terancam oleh masyarakat dan khawatir akan pekerjaannya. Dengan otoritas hukum yang sepenuhnya berada di tangan laki-laki, Sonny dengan mudah mengambil keputusan drastis: ia mengusir Maud dari rumah dan menyerahkan putra mereka, George, untuk diadopsi.
Hukum pada saat itu menetapkan bahwa harta benda, penghasilan, dan bahkan anak-anak secara eksklusif adalah milik suami. Maud, sebagai seorang istri, tidak memiliki hak hukum atas rumahnya atau putranya.
Ketika Maud berusaha menemui putranya dan menyadari bahwa secara hukum ia tidak memiliki kekuatan untuk menuntut kembali anaknya, ia menyadari korelasi langsung antara hak pilih dan hak asasi manusia. Kekejaman ini membuktikan bahwa perjuangan Suffragette yang menuntut hak untuk diwakili dalam parlemen bukanlah sekadar tentang politik abstrak, tetapi tentang hak untuk hidup, memiliki martabat dan melindungi keluarganya sendiri.
Melalui hilangnya segalanya, Maud akhirnya menemukan tujuan, ia bertarung bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk memastikan bahwa tidak ada wanita di masa depan yang harus kehilangan segalanya hanya karena mereka tidak memiliki suara di mata hukum. Transformasi emosional inilah yang menjadikan kisah Maud sebagai inti film ini.
Film ini mencapai klimaksnya dengan adegan ikonik pengorbanan Emily Wilding Davison. Ditutup dengan menyajikan daftar tahun di mana berbagai negara di dunia memberikan hak pilih kepada perempuan, Suffragette menjadi sebuah film yang bukan hanya sekadar hiburan, tetapi juga pelajaran sejarah yang vital tentang kegigihan, pemberontakan dan perjuangan panjang untuk mendapatkan suara.
Baca Juga
-
Review Anime Yuru Camp Season 3, Menjelajah Destinasi Baru
-
Wajib Masuk Watchlist! 4 Rekomendasi Anime Rock dengan Musiknya Bikin Candu
-
4 Film Korea Terbaik Tentang Bobroknya Pemerintahan Otoriter
-
Jangan Sampai Ketinggalan! 4 Anime Terbaru yang Rilis di Januari 2026
-
Review Film The Girl with the Needle, Pembunuh Bayi Berkedok Adopsi
Artikel Terkait
-
Mengungkap Kegilaan Tsurumi dan Misteri Harta Karun Ainu diGolden Kamuy Season 4
-
Saat Bahasa Ngapak Nggak Lagi Jadi Bahan Tertawaan
-
Kabar Hot, Ariel Noah Didapuk Memerankan Dilan Oleh Falcon Pictures, Gila!
-
Rayakan 20 Tahun Penayangan, Film Pan's Labyrinth akan Dirilis Ulang di Bioskop
-
Bintang Game Of Thrones, Emilia Clarke Main Film Romcom Bertajuk Next Life
Ulasan
-
Review Film Troll 2: Sekuel Monster Norwegia yang Epik!
-
Review The Great Flood: Kisah Kim Da Mi Selamatkan Anak saat Banjir Besar
-
Hada Cable Car Taif: Menyusuri Pegunungan Al-Hada dari Ketinggian
-
Ulasan Novel Janji, PerjalananTiga Santri Menemukan Ketulusan Hati Manusia
-
Review Film Avatar Fire and Ash: Visual Memukau, tetapi Cerita Terasa Mengulang
Terkini
-
4 Serum Cica Rp40 Ribuan, Solusi Atasi Jerawat dan Kulit Kemerahan
-
Capek setelah Interaksi Sosial: Tanda Social Fatigue yang Sering Diabaikan
-
4 Zodiak yang Masuk Era Antagonis, Mulai Menjalani Hidup untuk Diri Sendiri
-
Mangrove Sketch and Write, Merawat Pesisir Baros Lewat Aksi dan Karya
-
Marsha Aruan Dikira Mualaf, Nama sang Mantan Kembali Terseret