Hikmawan Firdaus | Athar Farha
Poster Film Judheg (Instagram/ moviezy)
Athar Farha

Ada yang nggak bisa aku jelaskan pakai logika waktu tahu kabar Film Judheg. Rasanya kayak ada yang ngetok dada pelan dengan menebar rasa kagum yang nggak berkesudahan. 

Film yang sepenuhnya pakai Bahasa Ngapak dan Banyumasan itu akhirnya beneran ada. Bukan cuma satu dua dialog, bukan buat lucu-lucuan, tapi bahasa utama yang hidup dari awal sampai akhir.

Film ini disutradarai sama Misya Latief dan diproduksi Rekam Films, dan bakal tayang perdana di JAFF-Netpac Desember ini. 

Ceritanya tentang Warti (Darti Yatimah), perempuan muda yang harus memikul beban hidup terlalu cepat. Dia jadi ibu, tulang punggung keluarga, tapi juga korban dalam rumah tangganya sendiri. Suaminya, Supri (Sigit Blewuk), larut dalam judi online dan kekerasan. Dari balik bulu mata palsu yang Warti rangkai demi bertahan hidup, dia pun mencari keberanian buat memilih. Bertahan dalam rumah tangga yang busuk, atau pergi demi hidup yang lebih layak.

Terlepas dari kisahnya, buatku, inti ‘Judheg’ bukan cuma di kisah Warti. Intinya ada di bahasa. Bahasa yang selama ini dikira lucu, kampungan, dan yang sering cuma jadi bahan ejekan, tapi sebenarnya ada ketulusan paling mentah dari manusia Banyumasan: jujur, blakasuta, dan nggak bisa pura-pura.

Aku lahir dan besar di Purbalingga. Dan seumur hidup, aku sudah kebal sama candaan, “Ngapak lucu,” atau “Kok medhok banget sih?” Diiringi gelak tawa. Namun, di balik nada tawa itu, ada lapisan minder yang pelan-pelan tumbuh dalam diri (orang Banyumasan). Ya mau gimana lagi? Contohnya diriku yang ekstra belajar menahan lidah, ngilangin logat kalau keluar kota, demi dianggap ‘standar’.  

Makanya waktu tahu Sigit Blewuk (sesama wong Purbalingga) bakal main di film ini, aku ngerasa kayak ada yang bangkit dari dalam dada. Kayak akhirnya bahasa dan tanahku nggak cuma ditonton, tapi didengarkan. Karena Ngapak itu bukan sekadar dialek, tapi juga cara bercanda, cara berduka, bahkan cara mencintai.

Aku yakin, nonton Film Judheg nanti nggak cuma soal ngerasa dekat sama kisah Warti, tapi juga soal berdamai dengan asal. Film ini bisa jadi gambaran buat banyak orang Banyumasan yang pernah merasa malu sama bahasanya sendiri. Karena kalau di layar bioskop saja bisa terdengar indah, kenapa di kehidupan nyata harus disembunyikan?

Rekam Films dan Misya Latief, menurutku, nggak cuma bikin film. Mereka bikin ruang untuk bahasa yang dulu dianggap lucu, kini berdiri sejajar dengan Bahasa Indonesia baku dan logat Jakarta yang selama ini mendominasi layar. Dan lebih dari itu, mereka ngasih kita, wong-wong Purbalingga, Banjarnegara, Banyumas, Cilacap, Brebes, kesempatan buat bilang, “Kiye suarane nyong, kiye uripku, lan nyong ora isin maning ngomong ngapak!”

Desember nanti, kalau Judheg tayang di JAFF, aku tahu ini akan jadi film yang aku prioritaskan. Bukan cuma karena kisah Warti yang getir, tapi karena untuk pertama kalinya, bahasa yang sering ditertawakan itu akhirnya naik panggung.

Dan mungkin, di kursi bioskop nanti, aku bakal girang banget. 

Pokoknya buatku, ‘Judheg’ bukan cuma film, tapi perayaan kecil dari sesuatu yang selama ini dianggap kecil. Bahasa Ngapak, dengan segala kejujurannya, akhirnya punya panggungnya sendiri. Dari tanah Purbalingga sampai ke layar JAFF, suara yang dulu ditertawakan kini bergema dengan bangga.  

Kira-kira siapa ya Sobat Yoursay di sini yang sama-sama bicara logatnya ‘ngapak’?