Plan to End Violence: Gerakan Orang Muda Lawan Kekerasan di Sekolah

Bimo Aria Fundrika
Plan to End Violence: Gerakan Orang Muda Lawan Kekerasan di Sekolah
Komunitas Plan to End Violence. (Dok. Istimewa)

Sekolah seharusnya menjadi tempat belajar yang aman. Namun, kenyataannya, kekerasan masih marak terjadi. Perundungan, kekerasan seksual, fisik, dan psikis kerap dialami anak-anak di Indonesia.

Forum Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat, kasus kekerasan yang terjadi di satuan pendidikan selama Januari-September 2024 mencapai 36 kasus dengan total jumlah korban  mencapai 144 peserta didik. Dari 36 kasus itu, mencakup  4 jenis kekerasan dengan kasus tertinggi adalah kekerasan fisik (55,5 persen),  kekerasan seksual (36 persen ), kekerasan Psikis (5,5 persen ) dan kebijakan yang mengandung kekerasan (3 persen).

Dari cacatan itu, kebanyakan kasus terjadi di jenjang pendidikan SMP/MTs, yakni 36 persen, disusul SMA (28 persen) SD/MI (33,33 persen) dan SMK (14 persen). Dari jumlah tersebut 66,66 persen terjadi di sekolah di bawah kewenangan Kemendikbudristek dan 33,33 persen terjadi di sekolah di bawah kewenangan Kemenag. 

Bahkan, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) merilis data,  hingga September 2024 tercatat ada 293 kasus kekerasan di sekolah. Jenis kekerasan didominasi oleh kekerasan seksual, jumlahnya mencapai 42 persen. Disusul oleh perundungan 31 persen, kekerasan fisik 10 persen, kekerasan psikis 11 persen, dan kebijakan yang mengandung kekerasan 6 persen.

Menjawab masalah ini, komunitas Plan to End Violence hadir. Gerakan kepemudaan ini berfokus pada edukasi dan layanan bagi anak-anak yang mengalami kekerasan di sekolah.

Founder Plan to End Violence, Tarida Gitaputri Butar Butar, menjelaskan bahwa komunitas ini bermula dari acara edukasi di SMAN 62 Jakarta. Tingginya antusiasme peserta mendorongnya untuk membentuk komunitas yang resmi berdiri pada 19 Januari 2024.

“Banyak kasus kekerasan yang terjadi, tapi kita hanya tahu sebagian kecilnya. Termasuk di sekolah, yang seharusnya menjadi tempat aman bagi anak-anak,” ujar Gita.

Tak hanya di sekolah, komunitas ini juga menyoroti faktor lingkungan yang memperburuk risiko kekerasan. Mereka memberikan edukasi bagi anak-anak kurang beruntung dan kelompok rentan.

“Di rumah, mereka bisa saja hidup di lingkungan dengan risiko kekerasan tinggi. Lalu di sekolah, kurangnya edukasi seksual dan reproduksi bisa memperburuk situasi,” jelasnya.

Setiap bulan, komunitas ini aktif mengedukasi publik melalui media sosial. Mereka membahas berbagai isu, seperti kemiskinan menstruasi dan kekerasan di lingkungan pendidikan.

Mereka juga menyediakan peer counselor serta membantu penyelesaian kasus kekerasan di sekolah. Salah satu kasus yang pernah ditangani menunjukkan lemahnya layanan satgas kekerasan anak, sehingga peran komunitas ini menjadi sangat penting.

Komunitas Plan to End Violence. (Dok. Istimewa)
Komunitas Plan to End Violence. (Dok. Istimewa)

“Karena ada celah, kita bisa masuk dan membantu menyelesaikan. Kasus anak harus ditangani dengan pendekatan ekologi—melibatkan keluarga hingga pendidik,” terang Gita.

Selain itu, mereka berkolaborasi dengan komunitas lain. Salah satunya melalui acara "Merawat Cinta dan Menolak Kekerasan", yang membahas peran keluarga dalam mencegah kekerasan pada anak.

Ajak Anak Muda Bergerak

Komunitas ini terbuka bagi siswa SMA hingga mahasiswa. Yang penting, mereka memiliki kepedulian terhadap isu kekerasan.

Komunitas Plan to End Violence. (Dok. Istimewa)
Komunitas Plan to End Violence. (Dok. Istimewa)

“Syaratnya lebih ke keinginan mendalam untuk memahami isu ini. Karena cukup sensitif dan bisa memicu emosi bagi sebagian orang,” tambahnya.

Ke depan, mereka berharap lebih banyak laki-laki bergabung. Keterlibatan semua gender dinilai penting untuk memahami perspektif yang lebih luas.

Selain itu, mereka ingin memperluas gerakan pencegahan kekerasan di sekolah. “Kita butuh lebih banyak orang agar ini lebih efektif. Mungkin kita tidak mengalaminya langsung, tapi pasti ada teman atau lingkungan yang berisiko,” tutup Gita.

Penulis: Kayla Riasya Salsabila

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak