Maman Abdurahman yang merupakan bek legendaris Indonesia resmi mengumumkan gantung sepatu di usia 43 tahun, menandai berakhirnya sebuah perjalanan panjang selama 24 tahun di lapangan hijau.
“Sepak bola telah memberikan saya banyak hal. Dari pahitnya kekalahan hingga manisnya kemenangan,” ucap Maman dalam pernyataan yang diungkap ligaindonesiabaru.com, Kamis (19/6/2025).
Namun lebih dari itu, Maman menyebut bahwa yang paling berharga dari kariernya bukan piala atau pujian. Ia menyambung, “Yang paling berharga adalah kenangan dan pengalaman yang saya dapatkan selama 24 tahun karier saya. Saya bangga menjadi bagian dari sepak bola Indonesia."
Pernyataan tersebut mencerminkan jiwa besar seorang atlet. Dalam diam dan kerja keras, Maman membuktikan bahwa ketulusan mencintai profesi bisa menjadi kekuatan abadi. Tak heran jika banyak yang merasa kehilangan atas keputusannya mundur dari dunia sepak bola profesional.
Ia pun tak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua klub yang pernah menjadi rumahnya, dan tentu saja kepada keluarga yang selama ini selalu mendukung langkahnya.
Maman Abdurrahman, dan Jejak Karier Sepak Bola yang Tak Terlupakan
Karier Maman bermula pada tahun 2001 bersama Persijatim Solo FC. Sejak itu, ia menjelajah ke berbagai klub besar tanah air, mencatatkan namanya sebagai bek tangguh dan disegani. PSIS Semarang, Persib Bandung, Sriwijaya FC, Persita Tangerang, hingga Persija Jakarta pernah merasakan kontribusinya di lini belakang.
Tak cukup sampai di situ, PSPS Riau menjadi pelabuhan terakhir Maman. Meski gagal membawa klub tersebut promosi ke Liga 1 setelah kalah tipis dari Persijap Jepara, dedikasinya selama satu musim tetap menjadi catatan tersendiri.
Puncak kariernya tercatat saat membawa Persija Jakarta menjadi juara Liga 1 2018. Selain itu, dua trofi bergengsi, yakni Piala Presiden 2018 dan Piala Menpora 2021pun turut ia persembahkan untuk Macan Kemayoran. Sebuah warisan prestasi yang tidak semua pemain bisa tinggalkan.
Jika bicara soal konsistensi, nama Maman layak disandingkan dengan legenda. Ia bahkan dinobatkan sebagai pemain terbaik Liga Indonesia 2006 saat masih berseragam PSIS Semarang, setelah membawa timnya ke final sebelum takluk dari Persik Kediri.
Tak hanya berkarier di level klub, Maman juga menjadi bagian penting dari skuad Timnas Indonesia. Ia mengoleksi 30 caps dan menjadi andalan di era Alfred Riedl, termasuk tampil di final Piala AFF 2010 yang jadi salah alah satu momen paling emosional dalam sejarah sepak bola Indonesia.
Sebagai bek tengah, Maman dikenal solid, disiplin, dan penuh semangat juang. Ia tak mencetak gol untuk timnas, tapi perannya menjaga pertahanan tetap kuat menjadi fondasi penting dalam permainan.
Melihat jejaknya, keputusan Maman untuk pensiun pada tahun ini bisa dibilang tepat. Usia dan kondisi fisik tentu menjadi pertimbangan utama, terlebih sepak bola menuntut stamina yang sangat tinggi. Di usia 43, bertahan saja sudah luar biasa, apalagi tetap kompetitif di level profesional.
Namun bukan berarti ia akan benar-benar meninggalkan dunia sepak bola. Dengan segudang pengalaman dan pengetahuan, Maman memiliki potensi besar untuk melanjutkan karier di bidang lain, seperti pelatih, pembina akademi, hingga analis atau komentator.
Pensiunnya akan membuka ruang bagi generasi baru. Sebagai panutan, Maman sudah memberi teladan yang luar biasa baik dalam disiplin, loyalitas, maupun etika bermain. Kini saatnya para pemain muda melanjutkan estafet perjuangan dengan nilai-nilai yang telah ia tanamkan.
24 tahun di lapangan hijau telah membentuknya sebagai sosok yang layak diapresiasi. Begitu juga dengan warisan yang ia tinggalkan bakal terus hidup dalam memori para suporter dan generasi pemain selanjutnya.
Terima kasih, Maman, atas kenangan yang luar biasa!