Maraknya pandangan negatif yang ditujukan oleh masyarakat awam terhadap bank syariah. Mereka mengatakan bahwa operasional bank syariah tidak ada bedanya dengan bank konvensional. Menurut mereka yang membedakan hanya sebutannya saja pada bank konvensional dikenal dengan sistim bunga sedangkan di bank syariah dirubah dengan istilah margin.
Apakah memang benar perbedaan antara bank syariah dan konvensional hanya sekedar pada bunga dan margin saja?
Murabahah adalah pembiayaan yang memposisikan nasabah sebagai pembeli dan bank sebagai penjual dan operasional..Murabahah ini murni menggunakan rukun dan syarat jual beli, terdapat beberapa hal yang harus ada dalam transaksi tersebut. Harus ada penjual, pembeli, objek yang diperjual belikan, ada ijab dan qabul serta ada akad yang menyertai perjanjian.
Jika dilihat sekilas memang mungkin terdapat kemiripan antara kredit barang di Bank Konvensional dan Pembiayaan Murabahah di bank Syariah. Dimana nasabah datang kebank untuk mengajukan pembelian barang. Bank kemudian menganalisa kemampuan nasabah, jika dirasa layak untuk menerima bantuan maka bank akan menyalurkan dananya kepada nasabah. Pada bank konvensional akan disyarakatkan tambahan bunga pada saat pengembalian hutangnya, yang lainnya mem-mark up harga beli atas penjualan barangnya kepada nasabah. Kemudian nasabah membeli barang tersebut untuk keperluannya dan secara rutin membayar angsuran kepada bank. Begitulah pendapat orang awam mengenai praktik perbankan tersebut.
Ditinjau secara konsep, maka Bank Syariah akan membelikan barang-barang yang dimintakan oleh nasabah tersebut, kemudian dijual kembali kepada nasabah dengan menambahkan keuntungan/margin bank. Sehingga nantinya dalam transaksi akan ada harga beli (harga pokok pembelian barang), margin (keuntungan yang diambil oleh bank),serta ada harga jual (harga pokok ditambah dengan margin keuntungan).
Fatwa DSN No. 04/DSN-MUI/IV/2000 mengenai murabahah, Dewan Syariah Nasional telah memberikan ijin operasional sesuai syariah terhadap produk pembiayaan murabahah. Berlandaskan Surat Al-Baqarah ayat 275 yang menyatakan bahwa Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga maka akad jual belinya harus dilakukan setelah barang sejatinya telah menjadi hak milik bank. Akan tetapi marak terjadi akad murabahah mendahului pemberian kuasa dan dropping dana pembelian barang. Bagaimana mau dikatakan barang telah menjadi milik bank, jika dropping dana pembelian barangnya saja dilakukan setelah akad murabahah ditanda tangani.
Timbul pertanyaan apakah Perbankan Syariah telah menerapkan sistem dan prosedur pembiayaan Murabahah ini sesuai dengan skimnya? Persoalan ini cukup sulit untuk dijawab.
Bank Syariah yang dikenal idealis dan selalu menjadi garda terdepan pengawasan terhadap syariah compliance, mulai berbalik arah. Hal ini tidak lain karena kebutuhan untuk perkembangan pasar. Dilihat dari beberapa bukti lapangan yang menunjukkan bahwa, nasabah tidak diharuskan memberikan daftar pembelian barang/objek pembiayaan yang tidak jelas, dan murabahah pun tetap bisa direalisasikan tanpa memperdulikan objek yang akan diperjual belikan antara bank dengan nasabah. Nasabah yang sudah terbiasa dengan skim kredit konsumtif pada bank konvensional, menjadi sangat terbantu dan merasa dimudahkan dengan hal ini. Sehingga terciptalah statement yang mengatakan bahwa ”Bank Syariah sama saja dengan Bank Konvensional”. Karena yang dibutuhkan bukanlah pembelian barang melainkan dana segar, nasabah tidak akan terlalu pilih-pilih dan mempertanyakan apakah prosedur yang dilakukan sudah sesuai dengan prinsip syariah.
Padahal perbankan syariah bukan hanya berperan sebagai lembaga intermediasi, akan tetapi juga berperan dalam memberikan pengetahuan tentang seluk beluk prinsip dan pengaplikasian perbankan syariah. Jika kondisi di atas tetap tidak berubah dan tidak ada perubahan mendasar, maka kecerdasan syariah kepada nasabah tidak akan pernah berhasil.
Bank Indonesia (BI) nampaknya cukup tegas dalam hal ini. Melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.7/46/PBI/2005 tanggal 14 Nopember 2005 tentang standarisasi akad, Bl menegaskan kembali penggunaan media Wakalah dalam pasal 9 ayat 1 butir d yaitu dalam hal Bank mewakilkan kepada Nasabah (Wakalah) untuk membeli barang, maka akad Murabahah harus dilakukan setelah barang menjadi milik Bank. Bahkan dalam bagian penjelasan PBI ditegaskan bahwa akad wakalah harus dibuat terpisah dari akad murabahah. Lalu ditegaskan, yang dimaksud oleh Barang milik Bank dalam Wakalah pada Akad Murabahah adalah adanya aliran dana yang ditujukan kepada pemasok barang atau dibuktikan dengan kwitansi pembelian.
Nampaknya aturan Bank Indonesia tersebut telah sejalan dengan Fatwa MUI mengenai Murabahah, dimana Bl dan MUI kembali menempatkan posisi Bank dalam kedudukannya sebagai Penjual Barang. Bukan hanya sekedar lembaga keuangan saja. Terlepas nantinya ada rekayasa rekayasa yang dilakukan Bank untuk sekedar menunjukan kepatuhannya terhadap aturan tersebut.
Semoga kedepannya praktik praktik murabahah akan tetap murni sesuai dengan syariah dan kita semua berharap, Perbankan Syariah yang telah beroperasi di Indonesia saat ini benar-benar telah berpegang teguh pada Syariah Compliance, sehingga niat dan keinginan suci umat Islam dapat dipertahankan dan berjalan sesuai dengan koridornya.