Sungguh karunia yang sangat luar biasa bisa terlahir di tanah Indonesia ini. Bukan saja bangga karena menjadi salah satu penduduk di sebuah negara besar yang berada dalam garis khatulistiwa, tetapi lebih dari itu, yakni sebuah keragaman yang hidup di dalamnya dari Sabang hingga Merauke. Sebuah keunikan yang dimiliki Indonesia dengan beragam suku, ras, bahasa, hingga agamanya. Semuanya hidup dan bercampur menjadi satu dalam tanah air Indonesia.
Jika ditanya, apakah menyesal menjadi warga negara Indonesia? Tentu saya akan menjawab “tidak”. Saya bahagia lahir dan dibesarkan di Indonesia. Indonesia adalah rumah dengan tuan rumahnya yang ramah-tamah. Indonesia menjadi sebuah tempat yang sangat tepat untuk bisa belajar apa itu keragaman, apa itu toleransi. Tentu saja, hidup di Indonesia mengajarkan betapa perbedaan itu bukanlah tembok pembatas. Melainkan warna-warni pelangi yang selalu indah untuk dipandang siapa saja. Jika pun keindahan itu tak mampu terlihat dengan jelas dalam perbedaan, maka tampaknya keegoisan diri perlu untuk diredakan.
Saking banyaknya budaya yang tumbuh dan berkembang di Indonesia, hal ini membuat banyak sekali agenda di setiap tahunnya yang mudah sekali bagi kita untuk bisa menemukan tanggal merah dalam kalender Indonesia. Salah satunya adalah perayaan Imlek atau Tahun Baru Cina, yang pada tahun 2022 ini jatuh pada tanggal 1 Februari. Sebelum hari tersebut tiba, biasanya kemeriahan menyambut Imlek sudah terlihat dengan jelas. Misalnya saja tampak pernak-pernak berwarna merah berupa lampion atau hiasan khas Imlek lainnya yang dipasang di pinggir-pinggir jalan maupun pusat perbelanjaan.
Apalagi beberapa daerah di Indonesia memang memiliki wilayah yang khusus dihuni oleh keturunan Cina. Misalnya saja di Jakarta dengan beberapa titik terdapat kampung Cina yang salah satunya di daerah Glodok, lalu di Medan, Palembang, Singkawang yang mendapat julukan “Kota Seribu Kelenteng”, bahkan di Yogyakarta juga memiliki pecinan atau kampung Cina bernama Ketandan di kawasan Malioboro.
Imlek Jadi Perayaan Penting Orang Tionghoa
Seperti yang diketahui oleh kebanyakan orang bahwa Imlek menjadi perayaan yang dilakukan oleh orang-orang Tionghoa. Ya, orang Tionghoa memang menganggap Imlek menjadi perayaan yang sangat penting. Jika dilihat dari sejarahnya, Imlek adalah sebuah perayaan untuk menyambut hadirnya musim semi setelah melewati musim dingin. Para petani ini sangat bergembira karena mereka bisa mulai bercocok tanam kembali. Di momen inilah mereka memiliki harapan agar hidup mereka diberikan kemakmuran dan kesejahteraan, sehingga kedatangan musim semi pun patut untuk disyukuri.
Di saat perayaan Imlek, mungkin kamu pernah melihat masyarakat Tionghoa terutama yang beragama Buddha, Tao, dan Konghucu melakukan ritual-ritual keagamaan seperti halnya sembahyang, membakar hio atau dupa, dan menyediakan beberapa jenis makanan untuk dijadikan persembahan.
Seperti dikutip dari Kompas, dilakukannya ritual-ritual keagamaan pada saat Imlek terjadi seiring berjalannya waktu, yakni sejak munculnya para filsuf. Karena sebelumnya, masyarakat Tiongkok belumlah menganut suatu agama. Sehingga hadirnya Imlek tidak memiliki unsur agama, melainkan sebagai sebuah perayaan untuk menyambut tahun baru.
Sejak kemunculan para filsuf itulah para penganut Tridharma menjalani ritual keagamaan yang salah satunya adalah menyajikan makanan untuk dipersembahkan pada Tuhan. Ritual-ritual itu pun masih tetap dijalankan sampai sekarang yang tidak hanya di Tiongkok saja, tetapi di beberapa negara lain termasuk Indonesia.
Imlek Jadi Ajang Persatuan dan Toleransi
Perayaan Imlek menjadi salah satu agenda yang masuk dalam kalender Indonesia. Tibanya hari Imlek, seluruh masyarakat Indonesia berkesempatan untuk libur. Ya, hal seperti ini mungkin tidak akan pernah dirasakan oleh masyarakat Indonesia tanpa sosok Gus Dur. Tepat pada tanggal 9 April 2002, Presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid atau lebih dikenal dengan nama Gus Dur itu telah menetapkan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur di Indonesia.
Tentunya ini menjadi sebuah fenomena yang sangat hangat dan istimewa. Hari libur tersebut tidak hanya diperuntukkan bagi masyarakat keturunan Tionghoa, melainkan bagi seluruh rakyat Indonesia. Semenjak itulah, keindahan akan keragaman Indonesia mulai terlihat jelas dan indah. Karena bisa dilihat sebelumnya, selama bertahun-tahun dalam pemerintahan Orde Baru, perayaan Imlek benar-benar dilarang keras untuk diadakan.
Barulah setelah Gus Dur mengeluarkan Keppres nomor 6 Tahun 2000 mengenai Pencabutan Inpres Nomor 14 Tahun 1967, inilah sebuah lembar baru terkhusus bagi masyarakat keturunan Tionghoa yang ada di Indonesia untuk bisa bernapas lega. Mereka telah memiliki kebebasan untuk menganut agama, menjalankan tradisinya, dan tentu saja tidak ada larangan lagi dalam melakukan ritual-ritual keagamaan.
Setiap kehadiran Imlek, memang selalu disambut antusias oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Betapa terpesonanya saat berada di jalan kemudian melihat gemerlap lampion serta hiasan-hiasan khas Imlek dan menonton pertunjukan barongsai. Semua berkumpul menjadi satu dari berbagai agama, suku, dan ras untuk menikmati perayaan setahun sekali itu.
Inilah wajah Indonesia yang sebenarnya dan mungkin terasa langka untuk bisa disaksikan di beberapa negara lain. Imlek telah menjadi momen yang mampu melahirkan persatuan dan toleransi. Di sinilah kita bisa melihat adanya keseimbangan dalam sebuah perbedaan tanpa memunculkan konflik yang tidak berarti. Imlek kini tidak hanya menjadi perayaan dari golongan minoritas saja. Akan tetapi, Imlek telah menjadi perayaan kita semua yang sama-sama bisa dinikmati.
Ungkapan Syukur di Hari Imlek
Seperti halnya dalam perayaan Tahun Baru pada umumnya, setiap orang memiliki harapan baru, semangat baru, dan niat untuk menjadi lebih baik serta mengevaluasi segala sesuatu yang terjadi di tahun sebelumnya. Begitu juga dengan Imlek yang menjadi sebuah lembaran baru untuk melahirkan harapan-harapan yang segar.
Hadirnya Imlek menjadi momen untuk bisa mengungkapkan rasa syukur yang begitu dalam. Bersyukur dengan kehidupan yang masih berlanjut hingga saat ini serta bersyukur dengan rezeki yang diperoleh. Ungkapan rasa syukur tidaklah bisa dipandang secara sederhana. Hal ini karena dalam menjalani hidup, ada banyak sekali peristiwa yang membuat diri kita mengalami pasang-surut. Namun, ketika kita mampu untuk mengingatnya kembali dan meresapi setiap kejadian tersebut, tentu ada hikmah yang bisa dipetik untuk menjadi pembelajaran.
Bersyukur memang bisa dilakukan setiap saat, tetapi di momen Imlek, rasa syukur itu mampu dirasakan secara serentak dengan harapan-harapan yang baik di masa depan. Semoga kedamaian, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kemakmuran melingkupi kita semua.
Kiong hie huat cai.
Penulis: Widya Resti Oktaviana (Member YIPC Yogyakarta).