Mengupas Makna Sesungguhnya Toleransi dalam Libur Imlek pada Masa Gus Dur

Ayu Nabila | Yoga Yurdho
Mengupas Makna Sesungguhnya Toleransi dalam Libur Imlek pada Masa Gus Dur
Poster Gusdur, saat masyarakat merayakan haulnya di Solo, Jawa Tengah. [Suara.com/Maulana Surya]

Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, atau yang akrab disapa Gus Dur, Indonesia menyaksikan sebuah periode yang kental dengan semangat toleransi dan keberagaman. Salah satu momen yang mencerminkan nilai-nilai ini adalah libur Imlek, sebuah perayaan penting bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia.

Tidak hanya sebagai perayaan keagamaan, libur Imlek di masa itu menjadi simbol keberagaman dan harmoni antar-etnis yang dijunjung tinggi.

Toleransi memiliki makna yang mendalam, lebih dari sekadar keberadaan bersama dalam satu ruang geografis. Ini tentang menerima perbedaan, menghargai keberagaman, dan memperlakukan semua orang dengan hormat tanpa memandang agama, suku, atau latar belakang budaya mereka.

Masa pemerintahan Gus Dur di Indonesia adalah contoh gemilang bagaimana toleransi diwujudkan dalam kebijakan pemerintah, termasuk dalam pengakuan dan penghormatan terhadap perayaan agama dan budaya yang beragam.

Dalam konteks libur Imlek, keputusan untuk memberikan cuti resmi bagi masyarakat Tionghoa untuk merayakan Tahun Baru Imlek adalah langkah penting dalam menunjukkan toleransi dan penghormatan terhadap keberagaman agama dan budaya. Libur ini bukan hanya sekadar memberikan waktu bagi masyarakat Tionghoa untuk merayakan perayaan mereka, tetapi juga sebagai simbol inklusi dan pengakuan atas kontribusi mereka dalam membangun bangsa.

Pemerintahan Gus Dur memandang pentingnya membangun sebuah masyarakat yang inklusif, di mana semua warga negara merasa dihargai dan diakui tanpa terkecuali. Tindakan memberikan libur resmi untuk merayakan Imlek adalah langkah konkret dalam mewujudkan visi ini. Hal ini menciptakan lingkungan di mana setiap individu dapat merayakan identitas budaya mereka tanpa takut dicemooh atau diskriminasi.

Toleransi bukanlah sekadar kebijakan pemerintah, tetapi juga sikap mental dan budaya yang harus dipupuk oleh setiap individu dalam masyarakat. Masyarakat Indonesia pada masa pemerintahan Gus Dur diimbangi dengan semangat inklusif dan rasa hormat terhadap perbedaan. Ini tercermin dalam berbagai interaksi sehari-hari antara berbagai kelompok etnis dan agama di seluruh negeri.

Namun, meskipun telah ada kemajuan dalam mempromosikan toleransi dan keberagaman, tantangan tetap ada. Masih ada insiden-insiden intoleransi dan ketegangan antar-etnis yang terjadi di berbagai tempat. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk terus mendorong semangat toleransi, dialog antar-agama, dan pemahaman yang lebih baik antar-etnis.

Di masa pemerintahan Gus Dur, Indonesia menyaksikan bahwa toleransi bukanlah sekadar kata-kata kosong, tetapi sesuatu yang dapat diwujudkan melalui tindakan konkret dan kesediaan untuk saling menghormati dan menerima perbedaan.

Libur Imlek adalah salah satu contoh nyata bagaimana negara dapat mengakui dan menghargai keberagaman budaya dan agama dalam semangat persatuan dan kesatuan. Sebagai masyarakat yang beragam, semangat toleransi dan inklusi adalah pondasi yang harus terus kita jaga dan perkuat untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi semua warga Indonesia.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak