Bapak Presiden Jokowi yang saya hormati,
Bapak tentu mengetahui ihwal kasus bunuh diri yang dialami seorang dokter muda mahasiswa Universitas Diponegoro. Ia mengakhiri hidup setelah diduga menjadi korban perundungan oleh dokter senior di lingkungannya.
Kasus bunuh diri di Indonesia terus meningkat jumlahnya. Jika melihat dari data, rupanya kita akan mendapati fakta yang tak kalah pedihnya.
Misalnya, data dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), angka kasus bunuh diri meningkat setiap tahun, dengan puncaknya pada tahun 2023. Pada 2019, tercatat sekitar 1.800 kasus bunuh diri di seluruh Indonesia.
Pada 2023, angka ini melonjak menjadi lebih dari 2.500 kasus. Ini menunjukkan ada peningkatan signifikan dalam angka bunuh diri di Indonesia dalam 5 tahun terakhir.
Pada tahun 2024, tercatat 287 kasus bunuh diri hanya dalam rentang waktu tiga bulan pertama. Sebuah angka yang menggambarkan betapa pedih kenyataan ini.
Permasalahan bunuh diri seolah masih menjadi masalah senyap di Indonesia, dibandingkan permasalahan pelik lainnya. Lonjakan kasus ini tidak hanya menyasar kelompok usia tertentu, namun juga meliputi berbagai demografi, termasuk remaja, dewasa muda, hingga orang tua.
Secara usia, adapun kasus bunuh diri paling banyak terjadi di kalangan remaja dan dewasa muda, terutama dari generasi milenial dan gen Z.
Ada beberapa dugaan dan faktor yang mendorong mereka mengakhiri hidup. Mulai dari faktor media sosial, tekanan akademis, serta ketidakstabilan ekonomi, depresi. Hal-hal tersebut sebagai beberapa penyebab utama meningkatnya kasus bunuh diri pada kelompok usia ini.
Dengan demikian, apakah hal ini berarti Indonesia sedang berada dalam kondisi darurat kesehatan mental? Saya rasa tentu.
Jangan Sepelekan Masalah Kesehatan Mental
Sejatinya, kesehatan mental adalah hak semua orang. Untuk itu, di kepemimpinan presiden selanjutnya, meski sudah diupayakan oleh masa kepemimpinan Bapak Presiden Jokowi, semoga Presiden terpilih Bapak Prabowo Subianto beserta jajaran lebih memberikan perhatian dan layanan pada masalah kesehatan mental.
Pertama, meningkatkan akses ke layanan kesehatan mental. Adapun akses ke layanan kesehatan mental yang terjangkau dan berkualitas masih menjadi tantangan besar di Indonesia.
Kalau kita melihat di daerah misalnya, fasilitas terkait layanan kesehatan mental sangat terbatas, dan tidak semua orang memiliki akses ke psikolog atau psikiater. Hal ini tentu bisa memperburuk keadaan bagi mereka yang membutuhkan bantuan.
Dengan demikian, mereka mencoba mencari informasi di dunia maya atau internet perihal konselor atau saluran yang bisa memberikan pertolongan.
Ada beberapa layanan seperti saluran terkait kesehatan misalnya pencegahan bunuh diri. Layanan ini pun masih disediakan dari pihak sukarelawan atau lembaga sosial yang concern terhadap isu tersebut.
Sementara itu, layanan yang ada selama ini pun masih belum memadai. Pihak pemerintah pun sudah menyediakan saluran (hotline) melalui Kemenkes, namun juga belum memberikan hasil memadai dan layak pada mereka.
Sejauh ini, belum ada kebijakan soal pendanaan dan sistem pendukung hotline atau saluran pencegahan bunuh diri di Indonesia. Namun, berdasarkan pedoman WHO, ada syarat wajib saluran pencegahan bunuh diri yang ideal.
Misalnya, menawarkan bantuan yang tidak menghakimi, berempati, dan menghargai siapapun peneleponnya. Adapun saluran ini bisa diakses secara gratis, serta dapat beroperasi selama 24 jam.
Petugas operatornya pun bukan sembarangan melainkan terdiri dari relawan terlatih hingga profesional di bidang kesehatan mental. Adanya layanan ini harus menjaga kerahasiaan informasi, kecuali pada situasi darurat yang menyangkut keselamatan si penelepon.
Selain itu, operator juga harus bisa memberikan dukungan emosional, tanpa diskriminasi si penelepon berdasarkan nilai-nilai agama, politik, maupun ideologi lainnya. Harapannya, pemerintah melalui Kemenkes terus berupaya meningkatkan layanannya.
Kedua, memperluas manfaat JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) dengan mencakup layanan kesehatan mental. Selama ini, konsultasi ke psikiater atau dokter spesialis jiwa akan ditanggung BPJS Kesehatan. Namun itu bisa diakses di rumah sakit.
Ke depannya, harapannya di pemerintahan mendatang bisa memberikan layanan serupa lebih maksimal lagi di tingkat Puskesmas dengan disertai skrining, deteksi dini pencegahan bunuh diri, misalnya.
Dengan demikian, orang-orang yang mengalami permasalahan kesehatan mental, atau perasaan ingin bunuh diri lebih mudah mendapatkan bantuan dan tahu harus kemana mencari pertolongan.
Selain itu, upaya pencegahan juga harus terus dilakukan oleh dengan kehadiran negara, seperti adanya edukasi, sosialisasi atau diskusi untuk bersama-sama menangani masalah kesehatan mental.
Peningkatan kualitas sumber daya manusia tidak hanya bergantung dari bidang pendidikan, namun juga kesehatan, dalam hal ini, kesehatan fisik dan mental.
Kesehatan mental menjadi modal dan karakter utama, landasan pembentukan kualitas sumber daya manusia. Untuk itu, kami menitipkan pesan-pesan melalui surat singkat ini, serta harapan kami kepada Bapak presiden terpilih Prabowo Subianto dan wakil presiden Gibran Rakabuming Raka.
Kami, sebagai rakyat menunggu gebrakan dan program-program baru berkualitas dari Anda perihal kesehatan mental. Selamat bertugas, semoga amanah!
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS