New York Times menobatkan Raja Ampat, Papua Barat, sebagai salah satu destinasi wajib dikunjungi pada 2025. Media tersebut memuat rilis dalam sebuah daftar yang berjudul 52 Places to Go in 2025.
Segitiga terumbu karang menjadi keunggulan dari adalah ekosistem laut Raja Ampat. Tentu saja kabupaten menyimpan pemandangan alam memukau baik di dalam maupun di luar air.
Saya dan pembaca yang barangkali belum pernah menjejakkan kaki di sana tentu hanya bisa membayangkan betapa syahdu dan heningnya pagi di Raja Ampat.
Namun bayangan dan impian tersebut kini terusik. Sedih jika belum sempat merasakan harmoni alam yang menenteramkan jiwa itu dirusak aktivitas pertambangan. Belakangan berita mencuat mengenai pulau yang sering disebut surga terakhir itu.
Aktivitas pertambangan nikel rupanya yang akan merusak harmoni itu. Jika sudah demikian, kita sudah bisa menduga, pihak yang menderita adalah komunitas adat setempat. Kebijakan dan pembangunan yang melewati batas mengguncang kehidupan alam, budaya serta tradisi yang telah lama ada.
Raja Ampat bukan sekadar wilayah yang semata-mata dijadikan eksplorasi tambang nikel. Raja Ampat adalah kehidupan. Di sana melekat ritual dan tradisi tentang menjaga keseimbangan alam.
Nilai-nilai tradisi diwariskan dan dilestarikan demi menjaga hubungan manusia dan alam. Ketika alam dieksploitasi, maka bukan hanya ekosistem yang rusak, namun juga kehidupan itu sendiri.
Misalnya, ada tradisi sasi, yakni sistem adat dalam mengelola sumber daya alam pada suatu wilayah tertentu baik di darat maupun di laut. Di Raja Ampat, seperti di Kampung Kapatcol, pengelolaan sasi dilakukan oleh perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan punya andil besar terhadap konservasi dan pelestarian alam.
Dari sana, kita bisa membayangkan bahwa perempuan-perempuan adat di sana sudah sejak lama memiliki tanggung jawab untuk menjaga hutan dan laut. Namun demikian, mereka kini akan menghadapi kenyataan bahwa ruang hidup mereka akan tercerabut oleh pembangunan.
Semestinya kita, baik saya dan pembaca sekalian bisa merenung. Kepada siapakah ihwal pembangunan ini ditujukan? Apalah makna dan manfaat pembangunan jika masyarakat adat menjadi pihak yang terpinggirkan.
Mereka kehilangan tanah, laut dan budayanya. Jika pertambangan datang membuat kerusakan ikatan sosial, dan alam, pantaskah kita sebut hal itu dengan pembangunan dan kemajuan?
Selama ini kita terlalu sering memaknai pembangunan hanya sekedar infrastruktur yakni jalan mulus. Atau, pembangunan yang tertuju pada ekspor naik dan dan peningkatan investasi. Akan tetapi, kita, pemerintah, abai terhadap pembangunan berkelanjutan.
Dengan demikian, ketika kita, atau masyarakat adat setempat menolak tambang, bukan berarti menolak hadirnya pembangunan dan kemajuan. Namun mereka khawatir dan tahu jika sesuatu rusak, hilang maka sulit kembali dan mencari gantinya.
Begitu pula dengan alam. Sejatinya alam merupakan warisan milik generasi mendatang. Dengan demikian, harus ada tanggung jawab dan upaya untuk menjaga warisan kehidupan tersebut.
Penutup
Belakangan mencuat kabar mengenai aktivitas penambangan di Raja Ampat, Papua. Sebuah pulau yang mendapat julukan "surga terakhir di bumi". Wilayah ini dikenal luas sebagai salah satu destinasi menyelam terbaik dunia, serta keindahan alam bawah lautnya.
Namun aktivitas pertambangan atas nama pembangunan mengancam kelestarian alam. Tulisan kecil ini hanya ingin menjadi pengingat serta ajakan bersama, agar kita peduli terhadap isu ini.
Isu ini, ancaman ini tidak saja mengancam akan merusak lingkungan di sekitar masyarakat setempat Papua, namun juga alam kita bersama, Indonesia. Harapannya kolom ini menjadi suara-suara #SaveRajaAmpat yang mencoba bising melebihi bisingnya rapat dan suara mesin-mesing proyek tambang.