Selama ini, kita melihat perwujudan “Politik Riang Gembira” yang sempurna. Tak cuma mampu mempersuasi publik di masa pemilu, jargon tersebut juga terwujud dalam respons atas isu-isu miring.
Seperti yang ditampilkan anak-anak Joko Widodo terkait politik dinasti, mereka malah dengan senang hati mengaku dan mengenakan rompi bertuliskan “Putra Mulyono”.
Benar kata pepatah, tak ada gading yang tak retak, begitu pula “Politik Riang Gembira” yang ternyata punya batas. Pembuktian terbarunya, guyonan “janda kaya” Suswono, calon wakil gubernur Jakarta di Pilgub 2024.
Dalam pertemuan relawan Bang Japar (Kebangkitan Jawara & Pengacara) di Jakarta Selatan, Sabtu (26/10/2024), ia menyarankan para janda kaya agar menikahi pemuda pengangguran.
Mantan Menteri Pertanian era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu mencomot kisah Nabi Muhammad SAW yang memperistri konglomerat, Khadijah.
Pernyataan itu adalah respons Suswono atas pertanyaan ibu-ibu di forum tersebut mengenai apakah janda kaya juga akan mendapat “kartu janda” – salah satu program kerja yang ditawarkan pasangan Ridwan Kamil-Suswono.
Namun, publik keburu geram dan menilai kelakarnya itu tidak pantas. Bahkan, walau Suswono sudah meminta maaf (28/10/2024), ormas Betawi Bangkit tetap melaporkannya atas dugaan penistaan agama ke Bawaslu, Selasa (29/10/2024).
Humor, terutama yang dilontarkan pejabat publik, tidak seharusnya mengabaikan isu-isu yang penting bagi masyarakat.
Mengacu pada tulisan John Morreall, profesor di bidang filsafat dan pemikir kajian humor terkemuka, dalam buku Beyond a Joke: The Limits of Humour (Pickering, 2005), kegagalan lelucon Suswono itu utamanya terjadi karena ia melanggar etika umum humor.
Dalam konteks ini, isu krusial bagi masyarakat Jakarta yang telah diabaikan adalah terkait kemiskinan struktural, perlindungan terhadap kelompok rentan seperti janda, dan – yang paling utama – nilai dalam agama Islam.
Lebih jauh lagi, lelucon tentang janda kaya dan pemuda pengangguran itu juga mencerminkan cognitive disengagement dari Suswono, yaitu “lepasnya” pikiran dari aktivitas yang sedang dilakukan, sehingga abai akan konsekuensi atau dampaknya.
Bisa jadi Suswono tidak sengaja, tapi yang jelas ia tidak peka akan humornya sendiri berikut konsekuensinya. Alhasil, humornya memantik reaksi yang kontradiktif.
Menariknya, dalam era “Politik Riang Gembira” ini, tidak cuma elite yang memanfaatkan humor untuk menaikkan pamor. Masyarakat pun menjadikan humor, termasuk yang berbau sarkasme, sebagai basis atas narasi kekesalannya.
Misalnya, akun media sosial TikTok @emgininam*** pada unggahannya menulis, “Bukan mengurangi, justru menambah pengangguran karena semua orang menunggu janda kaya.”
Ada pula akun @xxxex*** menimpali di kolom komentar, “Jodoh di tangan Suswono” plus emoji thumbs up.
Kalau menurut Michael Billig, profesor Loughborough University, humor dari sekelompok masyarakat ini termasuk contoh rebellious humor.
Humor tersebut secara gamblang mengejek narasi dari penguasa atau tentang penguasa itu sendiri (Laughter and Ridicule, 2005, h.207).
Dalam konteks ini, masyarakat menunjukkan bahwa norma atau aturan sosial yang "diusulkan" oleh Suswono tidak sejalan bahkan konyol untuk dijalankan. Humor semacam ini juga berfungsi sebagai bentuk kritik sosial karena ia mengandung pesan meski tanpa konfrontasi langsung.
Fenomena ini, sebenarnya, sudah cukup membuktikan bahwa masyarakat juga punya kekuatan yang setara dalam arena politik yang sekarang ceria dan penuh tawa. Patrick Giamario, ilmuwan politik dari University of North Carolina, memperkenalkan istilah gelopolitics untuk menggambarkannya.
Menurutnya, tawa dalam politik sudah bukan sekadar reaksi alamiah, tetapi merupakan entitas yang aktif diperalat. Pelakunya bisa para penguasa maupun masyarakat, yang sama-sama memanfaatkan tawa untuk mencapai tujuan mereka.
Seperti Suswono memperalat tawa dalam pernyataannya, demikian pula masyarakat memperalat tawa untuk menentangnya.
Giamario melihat bahwa tertawa punya banyak peran dalam politik, antara lain sebagai cara untuk memahami suatu isu lebih mudah, untuk menyerang kelompok tertentu, atau sebagai sarana pelarian dari realitas politik yang berat.
Fungsi tawa lain, yang diperalat oleh politikus seperti Suswono, adalah membangun ikatan emosional dengan pendukungnya.
Dalam titik tertentu, tawa juga bisa dimanfaatkan sebagai pemicu perubahan. Rebellious humor yang dilontarkan sebagian masyarakat sebagai respons atas pernyataan Suswono itulah contoh nyatanya.
Sayang sekali, selama ini masyarakat justru cenderung terlena dan menikmati gelak tawa permainan “Politik Riang Gembira” dari elite, sehingga peran kita terkesan lemah.
Maka, selain jalur hukum, rebellious humor juga menjadi isyarat pada para pemimpin dan calon pemimpin lain bahwa publik memelototi para pejabat publiknya. Hal ini menciptakan kontrol sosial yang bersifat ringan, tetapi tetap berdampak.
Ya, di era demokrasi, tugas publik adalah menyadarkan pemimpin, entah lewat cara kasar maupun kelakar.
*Maria Marselina. Tulisan ini dibuat bersama peneliti humor IHIK3, Ulwan Fakhri, dalam program “Intern Science Communicator” dari Program Studi Sastra Inggris, Universitas Brawijaya-IHIK3
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS