Hukuman mati adalah salah satu sanksi dalam hukum pidana yang terus diperdebatkan tanpa henti. Baik kelompok yang mendukung maupun yang menentang memiliki argumen yang kuat.
Mereka yang kontra sering kali berpendapat bahwa hukuman mati bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia, sementara para pendukung percaya bahwa hukuman ini efektif dalam menanggulangi kejahatan dan memberikan efek jera kepada masyarakat.
Di Indonesia, penerapan hukuman mati dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah menjadi isu kontroversial yang memicu perdebatan sengit antara berbagai pihak. Fokus utama dari perdebatan ini adalah penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia.
Di satu sisi, hukuman mati dipandang sebagai cara yang efektif untuk memberikan efek jera dan menegakkan keadilan bagi korban kejahatan berat. Di sisi lain, penerapan hukuman ini sering dianggap melanggar prinsip hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup yang diakui secara universal.
Kita semua sepakat bahwa tindakan para pelaku kejahatan tidak dapat dibenarkan, dianggap tidak manusiawi dan merendahkan martabat. Oleh karena itu, mereka layak dihukum seberat-beratnya.
Namun, keefektifan hukuman mati sering dipertanyakan karena dianggap melanggar hak asasi manusia. Misalnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menolak hukuman mati dengan alasan bahwa hukuman ini tidak memberikan efek jera yang diharapkan.
Beberapa ahli hukum pidana berpendapat bahwa hukuman mati bukanlah solusi yang tepat, bahkan tidak relevan di Indonesia. Narasi mengenai efek jera ini bukanlah hal baru, dan hampir selalu disertakan dalam setiap keputusan hukuman mati.
Genoveva Alicia, seorang peneliti hukum pidana dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), menyatakan bahwa tidak ada data atau studi yang mendukung keefektifan argumen efek jera tersebut.
Hukuman mati juga dianggap melanggar prinsip dan nilai hak asasi manusia, tidak hanya karena merampas hak untuk hidup, tetapi juga hak untuk tidak mengalami penyiksaan dan perlakuan kejam.
Proses eksekusi hukuman mati pun sering kali mencerminkan pelanggaran hak asasi manusia. Terpidana mati biasanya harus menunggu lama sebelum eksekusi tanpa kepastian, yang dapat menimbulkan tekanan psikologis besar, bahkan disebut sebagai “penyiksaan” oleh Juan Mendez, Special Rapporteur PBB.
Selain itu, pelanggaran hak atas peradilan yang adil sering terjadi, di mana banyak terdakwa yang menghadapi ancaman hukuman mati tidak mendapatkan bantuan hukum yang layak, sehingga tidak mampu membela diri dengan baik.
Hukuman mati sering kali diterapkan secara tidak proporsional, lebih menyasar kelompok masyarakat miskin yang tidak memiliki akses ke pengacara yang memadai.
Banyak negara di dunia mulai menghapus hukuman mati, termasuk Arab Saudi, karena dianggap bertentangan dengan hak hidup yang mutlak dan tidak dapat dicabut oleh siapapun, termasuk negara.
Sejarah hukuman mati di Indonesia menunjukkan perjalanan yang panjang dan kompleks, dipengaruhi oleh faktor sosial, politik, dan hukum. Pada era kolonial Belanda, hukuman mati merupakan bagian dari sistem hukum pidana yang keras.
Setelah kemerdekaan, Indonesia mewarisi sistem tersebut dan mempertahankan hukuman mati dalam KUHP yang diadopsi dari Wetboek van Strafrecht Belanda. Meskipun demikian, penerapan hukuman mati di Indonesia tetap menjadi isu sensitif yang memunculkan berbagai pandangan.
Di satu sisi, ada yang beranggapan bahwa hukuman mati penting untuk menegakkan keadilan dan memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan berat, seperti pembunuhan berencana dan terorisme. Di sisi lain, ada argumen kuat yang menentang hukuman mati berdasarkan prinsip hak asasi manusia, menekankan bahwa hukuman ini melanggar hak fundamental untuk hidup dan sering kali diterapkan secara tidak adil.