Korupsi dalam sistem peradilan adalah luka yang terus menganga dalam tubuh hukum Indonesia. Bagaimana mungkin rakyat bisa percaya pada keadilan jika hukum bisa diperjualbelikan di ruang sidang?
Masalah ini bukan hanya sekadar isu klasik, tetapi sudah menjadi penyakit kronis yang merusak fondasi negara hukum. Seperti yang dikatakan Robert Klitgaard dalam bukunya Controlling Corruption, korupsi terjadi ketika ada monopoli kekuasaan tanpa akuntabilitas, dan itulah yang terjadi di banyak institusi peradilan kita.
Mengapa hukum bisa dibeli? Jawabannya sederhana, karena ada yang menjual dan ada yang membeli. Hakim dan jaksa yang seharusnya menegakkan keadilan malah menjadi pedagang vonis yang menentukan harga sesuai dengan pesanan.
Celah ini terjadi karena lemahnya pengawasan terhadap mereka. Korupsi di sektor hukum sering kali melibatkan oligarki yang menggunakan kekayaannya untuk menghindari hukuman. Akibatnya, hukum yang seharusnya menjadi alat perlindungan justru menjadi senjata bagi para pemilik modal untuk menekan pihak yang lebih lemah.
Apa dampaknya bagi masyarakat? Jika hukum tidak lagi bisa diandalkan, rakyat kecil adalah korban utama. Kasus-kasus di mana orang miskin mendapat hukuman berat karena mencuri makanan sementara pejabat korup justru bebas berkeliaran adalah contoh nyata ketimpangan ini.
Dalam Why Nations Fail, Daron Acemoglu dan James A. Robinson menegaskan bahwa institusi hukum yang lemah adalah penyebab utama mengapa suatu negara gagal berkembang. Tanpa kepastian hukum, investasi menurun, kepercayaan publik luntur, dan keadilan menjadi hak eksklusif bagi mereka yang mampu membelinya.
Siapa yang bertanggung jawab? Tentu saja, bukan hanya hakim dan jaksa, tetapi juga pemerintah dan lembaga pengawas seperti Komisi Yudisial.
Sayangnya, Komisi Yudisial yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam membersihkan sistem peradilan dari korupsi justru masih memiliki wewenang yang terbatas. Tanpa kekuatan eksekusi yang lebih besar, Komisi Yudisial hanya menjadi lembaga pengawas tanpa taring.
Bagaimana solusinya? Penguatan Komisi Yudisial adalah langkah yang harus segera diambil. Kewenangannya harus diperluas agar tidak hanya sekadar memberikan rekomendasi sanksi, tetapi juga dapat langsung menindak hakim dan jaksa korup. Selain itu, diperlukan sistem transparansi dalam pengawasan persidangan, seperti perekaman sidang yang bisa diakses publik. Dengan cara ini, masyarakat dapat ikut mengawasi dan melaporkan jika ada indikasi transaksi gelap dalam peradilan.
Kapan perubahan ini bisa terjadi? Sayangnya, tanpa tekanan kuat dari publik dan reformasi hukum yang serius, perubahan ini akan sulit terwujud. Dibutuhkan keberanian politik dari pemerintah dan desakan dari masyarakat agar reformasi peradilan tidak hanya menjadi wacana kosong.
Seperti yang diungkapkan Fareed Zakaria dalam The Future of Freedom, demokrasi tanpa supremasi hukum hanya akan melahirkan kekacauan dan ketidakadilan. Oleh karena itu, reformasi hukum tidak bisa ditunda lagi.
Di mana harapan itu bisa ditemukan? Harapan ada pada kesadaran masyarakat untuk tidak lagi diam terhadap praktik hukum yang bisa dibeli. Jika rakyat mulai aktif dalam mengawasi, melaporkan, dan menuntut transparansi, maka tekanan terhadap sistem akan semakin besar. Tanpa partisipasi publik, perlawanan terhadap korupsi di lembaga hukum hanya akan menjadi angin lalu.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS