Di era digital, penggunaan gadget telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan anak-anak prasekolah. Orang tua, baik di perkotaan maupun di pedesaan, kerap memberikan perangkat elektronik kepada anak mereka dengan harapan dapat menenangkan atau menghibur mereka. Namun, tanpa disadari, kebiasaan ini dapat berujung pada kecanduan yang menghambat perkembangan sosial, emosional, dan fisik anak. Studi kualitatif yang dilakukan oleh Fahrizal, Mariyana, dan Hasan (2024) terbitan jurnal Psikohumaniora mengungkapkan bahwa orang tua memiliki peran krusial dalam mengelola penggunaan gadget pada anak-anak mereka, tetapi kesadaran dan pendekatan yang diterapkan masih sangat bervariasi.
Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa keluarga inti memiliki pengaruh besar dalam membentuk pola perilaku anak terhadap gadget. Banyak orang tua yang menggunakan perangkat elektronik sebagai "pengasuh digital," menggantikan peran interaksi langsung yang seharusnya menjadi fondasi dalam perkembangan anak. Fenomena ini diperparah oleh pola asuh yang cenderung permisif, di mana orang tua menghindari konflik dengan anak dengan membiarkan mereka tenggelam dalam layar. Akibatnya, interaksi sosial berkurang, aktivitas fisik menurun, dan anak mulai menunjukkan tanda-tanda ketergantungan yang mengarah pada kecanduan.
Kecanduan gadget tidak hanya sebatas pada meningkatnya waktu yang dihabiskan anak di depan layar, tetapi juga berimplikasi pada perkembangan psikososial mereka. Anak-anak yang terbiasa menggunakan gadget sebagai alat utama untuk hiburan dan regulasi emosi cenderung mengalami kesulitan dalam mengelola frustrasi, kurang memiliki keterampilan sosial, dan lebih mudah mengalami gangguan tidur. Paparan layar yang berlebihan juga dikaitkan dengan penurunan daya konsentrasi serta rendahnya motivasi belajar. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat memengaruhi perkembangan kognitif dan kesiapan akademik mereka saat memasuki usia sekolah.
Namun, penelitian ini juga menunjukkan bahwa tidak semua orang tua bersikap pasif terhadap penggunaan gadget anak mereka. Ada kelompok orang tua yang mulai menyadari dampak negatif dari kecanduan gadget dan berupaya mengendalikan penggunaannya dengan menerapkan aturan yang lebih ketat, membatasi akses internet, serta mengarahkan anak-anak mereka untuk lebih banyak beraktivitas di luar rumah. Sayangnya, pendekatan ini sering kali tidak konsisten dan masih banyak bergantung pada tingkat kesadaran serta pengetahuan orang tua mengenai dampak negatif penggunaan gadget yang berlebihan. Perbedaan antara orang tua di daerah perkotaan dan pedesaan juga menjadi faktor yang signifikan dalam pengelolaan gadget, di mana anak-anak di perkotaan lebih memiliki akses tak terbatas dibandingkan mereka yang tinggal di pedesaan, yang masih lebih banyak terlibat dalam aktivitas fisik dan sosial di luar ruangan.
Studi ini menyoroti urgensi keterlibatan tenaga kesehatan, seperti perawat dan tenaga medis lainnya, dalam memberikan edukasi kepada orang tua mengenai dampak kecanduan gadget dan strategi pengelolaannya. Kolaborasi antara tenaga kesehatan, pendidik, dan pemerintah dalam merancang kebijakan yang membatasi penggunaan gadget secara berlebihan di kalangan anak-anak menjadi langkah yang perlu dipertimbangkan. Tanpa intervensi yang sistematis dan konsisten, fenomena kecanduan gadget pada anak prasekolah akan terus berkembang dan dapat berdampak luas terhadap generasi mendatang.
Penelitian ini mengingatkan kita bahwa dalam menghadapi tantangan digitalisasi, tanggung jawab utama tetap berada di tangan orang tua. Alih-alih menyerahkan kendali kepada layar, orang tua harus berperan aktif dalam membangun kebiasaan digital yang sehat bagi anak-anak mereka. Jika tidak, generasi mendatang akan tumbuh dalam dunia yang semakin terkoneksi secara virtual tetapi semakin terasing dalam kehidupan nyata.