Nomofobia di Kalangan Mahasiswa: Kecanduan atau Kebutuhan?

Hernawan | Rion Nofrianda
Nomofobia di Kalangan Mahasiswa: Kecanduan atau Kebutuhan?
Ilustrasi individu sedang mengakses internet melalui smartphone (pexels/mikoto.raw Photographer)

Dalam dekade terakhir, fenomena kecanduan gadget terutama ponsel pintar telah memunculkan konsep baru yang cukup menarik perhatian: nomofobia, atau ketakutan berlebihan ketika seseorang terpisah dari ponsel mereka. Ketakutan ini tak hanya berakar pada kebutuhan untuk terhubung dengan dunia maya, tetapi juga mencerminkan pola ketergantungan teknologi yang semakin mendalam di kalangan berbagai kelompok usia, terutama mahasiswa.

Penelitian yang dilakukan oleh Patimah, Andrianie, dan Mukti (2024) membuka wawasan baru tentang peran regulasi diri dalam kecenderungan nomofobia di kalangan mahasiswa. Temuan mereka tidak hanya mengungkapkan fakta yang menarik, tetapi juga menyentuh akar permasalahan sosial dan psikologis yang relevan di era digital ini.

Di satu sisi, regulasi diri kemampuan untuk mengontrol dorongan, emosi, dan perilaku demi mencapai tujuan tertentu dianggap sebagai faktor penentu dalam mengurangi kecenderungan nomofobia. Dalam penelitian tersebut, ditemukan bahwa regulasi diri memiliki kontribusi sebesar 18,3% terhadap nomofobia, sebuah angka yang cukup signifikan namun tetap menunjukkan bahwa faktor lainnya, seperti kebiasaan sosial dan psikologis mahasiswa, memiliki pengaruh yang jauh lebih besar dalam membentuk ketergantungan terhadap ponsel. Ini membuka perdebatan mengenai seberapa besar kendali individu terhadap pengaruh eksternal yang semakin dominan dalam kehidupan mereka.

Namun, angka yang terlihat menggembirakan ini seakan menjadi paradoks. Di satu sisi, mahasiswa yang memiliki tingkat regulasi diri yang lebih baik seharusnya dapat mengurangi rasa cemas atau ketakutan akan terputusnya akses terhadap ponsel. Tetapi di sisi lain, fakta bahwa banyak mahasiswa tetap menunjukkan tingkat nomofobia yang cukup tinggi, meskipun telah memiliki regulasi diri yang baik, menunjukkan bahwa ketergantungan terhadap teknologi tidak hanya terkait dengan kontrol diri semata.

Kecemasan sosial dan kebutuhan akan koneksi digital, baik dalam konteks akademik maupun sosial, seolah telah merasuk begitu dalam ke dalam pola hidup mereka sehingga tidak mudah untuk sekadar menghindari atau mengontrolnya. Terlebih lagi, generasi yang saat ini berada di usia 20-24 tahun telah tumbuh dalam lingkungan yang sangat mengandalkan ponsel sebagai alat komunikasi utama, yang membuat mereka semakin sulit untuk melepaskan diri dari ketergantungan tersebut.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah regulasi diri benar-benar cukup untuk mengatasi masalah nomofobia? Atau justru ada kebutuhan mendesak untuk menciptakan kesadaran kolektif tentang bagaimana teknologi seharusnya digunakan secara bijak? Hasil penelitian ini, meskipun mengungkapkan peran penting regulasi diri, tetap tidak dapat menutupi kenyataan bahwa kecanduan teknologi lebih kompleks daripada sekadar pengendalian diri. Mengingat sifat dari teknologi yang terus berkembang, ada unsur ketergantungan yang dibangun oleh industri teknologi itu sendiri melalui algoritma, notifikasi, dan fitur-fitur lain yang memikat pengguna untuk terus berada dalam jaringannya.

Mahasiswa, misalnya, sering kali terperangkap dalam kebiasaan menggunakan ponsel untuk menyelesaikan berbagai tugas akademik, mencari informasi, dan berkomunikasi dengan teman-teman. Namun, kebiasaan ini sering kali bercampur dengan penggunaan media sosial, hiburan digital, dan keinginan untuk tetap terhubung dengan dunia luar, yang pada akhirnya justru memperburuk kecemasan mereka. Nomofobia bukan hanya sebuah gangguan psikologis ringan, tetapi suatu fenomena sosial yang mencerminkan bagaimana teknologi telah mengubah cara hidup manusia, meresap ke dalam struktur sosial yang lebih besar.

Melihat kenyataan ini, regulasi diri seharusnya bukan hanya tentang pengendalian penggunaan ponsel semata, tetapi lebih kepada bagaimana menciptakan kesadaran tentang dampak jangka panjang dari kecanduan teknologi. Dalam konteks ini, perguruan tinggi dan lembaga pendidikan memegang peran yang sangat penting dalam membentuk pola pikir dan kebiasaan mahasiswa terhadap teknologi. Pendidikan digital, yang mengajarkan keterampilan untuk menggunakan teknologi secara sehat dan bijaksana, dapat menjadi langkah awal yang baik untuk mengurangi kecenderungan nomofobia.

Namun, di sisi lain, perlu diakui bahwa regulasi diri yang tinggi pada mahasiswa seharusnya bisa lebih daripada sekadar mematikan ponsel saat ujian atau mengurangi penggunaan media sosial. Ini harus melibatkan perubahan paradigma yang lebih mendalam dalam cara kita melihat peran teknologi dalam kehidupan kita. Sebuah transformasi sosial yang mendorong mahasiswa untuk tidak hanya bergantung pada teknologi untuk mencapai tujuan akademik, tetapi juga untuk mengembangkan kemampuan mereka untuk berinteraksi secara langsung, membangun jaringan sosial yang kuat, dan menemukan keseimbangan antara dunia digital dan dunia nyata.

Dengan demikian, nomofobia bukan hanya masalah individu semata. Ini adalah cermin dari bagaimana teknologi digital mengubah kebiasaan sosial dan psikologis kita. Meskipun regulasi diri memainkan peran penting dalam mengurangi kecenderungan terhadap nomofobia, kita tidak boleh lupa bahwa solusi yang lebih menyeluruh melibatkan pendekatan sistemik yang mempertimbangkan berbagai aspek sosial, psikologis, dan bahkan industri teknologi itu sendiri.

Kita berada di titik di mana penting bagi setiap individu, terutama generasi muda, untuk kembali menilai hubungan mereka dengan teknologi dan mencari cara yang lebih sehat dalam menggunakannya. Hanya dengan pendekatan yang lebih holistik, kecemasan yang ditimbulkan oleh nomofobia dapat diminimalkan, dan keseimbangan antara dunia digital dan dunia nyata bisa tercapai.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak