Kita semua pasti pernah mengalami kejadian menyebalkan_ditolak gebetan setelah PDKT bertahun-tahun, gagal dalam wawancara kerja impian, atau lebih tragis lagi, kehilangan makanan di kulkas yang ternyata dimakan adik sendiri. Lalu, ketika kita curhat, teman-teman dengan entengnya bilang, “Udah, ikhlasin aja.”
Kalau dipikir-pikir, ikhlas itu kata yang sering banget dipakai untuk menenangkan orang lain tanpa benar-benar membantu mereka menghadapi masalahnya. Semacam template default untuk menghindari percakapan lebih panjang. Tapi kalau dipraktikkan? Ya, beda cerita. Ikhlas itu gampang diucapkan, tapi susah dilakukan. Dan yang lebih sulit dari itu? Menerima.
Ikhlas Itu Seperti Move On Palsu
Pernah nggak sih, bilang ke diri sendiri kalau kita sudah ikhlas? Udah bisa tersenyum, udah nggak nangis lagi, udah bisa lihat mantan bahagia sama yang lain tanpa emosi. Eh, tapi diam-diam masih buka profil Instagramnya, ngeliatin InstaStory-nya (tentu saja pakai akun fake), dan mendadak mendengarkan lagu-lagu galau repeat sampai tengah malam.
Nah, itu dia. Ikhlas sering kali hanya berarti kita sudah nggak mau ribut soal sesuatu, tapi hati kecil masih berontak. Kita bilang sudah ikhlas kehilangan pekerjaan, tapi masih ngarep HRD tiba-tiba sadar telah melakukan kesalahan dan menghubungi kita kembali. Kita bilang sudah ikhlas ditinggal sahabat ke circle pertemanan baru, tapi masih diam-diam membandingkan hidup kita dengan mereka.
Ikhlas itu seperti berkata, “Oke, aku nggak bisa apa-apa lagi.” Tapi kalau masih berharap ada keajaiban yang mengubah keadaan, itu namanya belum menerima. Menerima artinya kita benar-benar berdamai dengan keadaan, bukan cuma pura-pura tegar biar kelihatan kuat.
Menerima Itu Menyakitkan, Tapi Lebih Sehat
Menerima berarti tidak lagi menunggu sesuatu yang tidak akan kembali. Kita tidak lagi berharap mantan nyesel dan ngajak balikan, tidak lagi menunggu atasan sadar bahwa kita sebenarnya karyawan terbaik, tidak lagi berharap dosen tiba-tiba memberikan nilai A padahal skripsi masih acak-acakan. Menerima itu perasaan lega yang datang setelah kita berhenti menyiksa diri dengan pertanyaan, “Kenapa begini?” dan mulai menerima kenyataan, “Ya udahlah, emang begini.”
Tapi ya, prosesnya nggak instan. Menerima bukan kayak pesen makanan cepat saji_hari ini kecewa, besok sudah damai. Butuh waktu lama, air mata berember-ember, dan sesi overthinking berulang kali sebelum akhirnya bisa beneran berdamai.
Banyak orang mengira mereka sudah menerima sesuatu, padahal mereka hanya menghindarinya. Misalnya, seseorang bilang sudah menerima kenyataan gagal S2 di luar negeri, tapi setiap ada teman yang berhasil, langsung overthinking dan nyalahin diri sendiri. Itu tandanya belum benar-benar menerima, cuma lagi nge-mute masalahnya sementara waktu.
Kenapa Menerima Itu Sulit?
Pertama, karena manusia itu makhluk penuh harapan. Bahkan ketika sudah tahu bahwa sesuatu mustahil, kita masih aja nyari kemungkinan kecil di sela-sela ketidakmungkinan. Ada orang yang udah tahu dia bukan tipe orang yang disukai gebetannya, tapi masih berharap, “Siapa tahu dia berubah pikiran.”
Kedua, karena menerima berarti benar-benar melepaskan harapan. Dan ini yang paling menyakitkan. Karena saat kita menerima, itu artinya kita harus berhenti mengandai-andai, berhenti membuat skenario baru di kepala, berhenti berharap ada plot twist dari semesta.
Ketiga, karena menerima itu nggak bisa dipaksakan. Kalau ikhlas bisa dipakai sebagai topeng, menerima adalah sesuatu yang harus datang dari hati. Nggak bisa dipaksa, nggak bisa disuruh buru-buru. Makanya, ada orang yang butuh bertahun-tahun untuk benar-benar menerima kenyataan.
Jadi, Gimana Biar Bisa Menerima?
Nggak ada rumus cepat. Tapi ada satu hal yang pasti: jangan buru-buru bilang “Aku udah ikhlas,” kalau sebenarnya masih berantakan. Kalau masih sakit, akui aja. Kalau masih kecewa, nggak apa-apa. Jangan dipaksakan sok kuat. Proses menerima itu memang menyebalkan, tapi justru karena menyebalkan, hasilnya akan lebih melegakan.
Salah satu tanda kalau kita benar-benar sudah menerima adalah ketika kita bisa melihat sesuatu dari masa lalu tanpa merasa sesak. Bisa ngomongin mantan tanpa rasa nyesek, bisa lihat teman sukses tanpa merasa insecure, bisa bercanda soal kegagalan tanpa merasa hancur. Itu artinya kita sudah tidak lagi menggantungkan kebahagiaan kita pada sesuatu yang tidak bisa diubah.
Pada akhirnya, hidup ini memang sering tidak adil. Kita akan kehilangan banyak hal, menghadapi kegagalan, dan menerima kenyataan yang tidak sesuai harapan. Tapi semakin cepat kita berhenti menunggu keajaiban yang tidak akan datang, semakin ringan hidup kita. Menerima memang sulit, tapi begitu kita berhasil, dunia terasa jauh lebih damai.