Relaksasi Aturan TKDN: Jalan Pintas yang Mengundang Petaka

Hayuning Ratri Hapsari | Naufal Mamduh
Relaksasi Aturan TKDN: Jalan Pintas yang Mengundang Petaka
Ilustrasi smartphone impor (freepik.com)

Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) adalah kebijakan strategis yang bertujuan memperkuat pondasi industri nasional dengan mengutamakan penggunaan komponen lokal dalam produk dan jasa.

Sejak digulirkan secara serius melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, TKDN terus menjadi instrumen penting dalam upaya meningkatkan kemandirian ekonomi Indonesia.

Kementerian Perindustrian bahkan membuat sertifikasi khusus untuk berbagai sektor, mulai dari logam, mesin pertambangan, hingga produk elektronik.

Sejumlah aturan lanjutan menguatkan semangat ini. Perpres 146/2015 mengatur pengembangan kilang minyak. Perpres 16/2018 menegaskan kewajiban penggunaan produk dalam negeri dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah. Dalam sektor teknologi, pemerintah pun telah membuat regulasi tegas.

Aturan TKDN untuk perangkat 4G awalnya dipatok minimal 30% melalui Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) No. 27/2015 yang mulai berlaku pada 1 Januari 2017.

Kemudian, kewajiban ini ditingkatkan menjadi 35% untuk perangkat 4G dan 5G lewat Permenkominfo No. 13/2021 yang berlaku sejak 12 Oktober 2021 hingga saat ini.

Kebijakan ini memaksa produsen ponsel global untuk menyesuaikan diri, baik melalui pembangunan fasilitas manufaktur di Indonesia maupun kerja sama dengan pabrik lokal. Contohnya, Oppo, Xiaomi, Samsung, hingga Vivo telah memproduksi atau merakit ponsel mereka di Tanah Air.

Namun tak semua brand global siap. Salah satu contoh nyata adalah iPhone 16 yang sempat kesulitan untuk masuk Indonesia karena Apple belum memenuhi syarat TKDN yang berlaku. Ini adalah bukti bahwa kebijakan TKDN bukan hanya alat pelindung, tapi juga alat tawar strategis bagi negara terhadap raksasa teknologi dunia.

Sayangnya, pernyataan Presiden Prabowo Subianto dalam Sarasehan Ekonomi (8 April 2025) justru mengejutkan banyak pihak. Beliau menyatakan niat untuk melonggarkan aturan TKDN, khususnya untuk sektor teknologi informasi dan komunikasi (ICT), dengan alasan agar industri nasional lebih kompetitif secara global.

Prabowo menyebut bahwa TKDN bila dipaksakan bisa melemahkan daya saing dan menyarankan agar kebijakan tersebut diganti dengan insentif.

Pernyataan ini langsung memicu kritik dari berbagai pengamat. Nailul Huda dari Center of Economics and Law Studies (Celios) mengingatkan bahwa pelonggaran TKDN berisiko membuat produsen yang telah patuh merasa dikhianati.

Dalam wawancara dengan Bisnis Indonesia, Nailul Huda melihat banyak produsen global yang sudah membangun pabriknya di Indonesia agar bisa menjual produknya, termasuk ponsel, ke pasar lokal. Jika sekarang persaingan dibuka bebas tanpa syarat TKDN yang sama, maka keadilan dan kepastian hukum di industri bisa terganggu.

Kekhawatiran serupa disampaikan Heru Sutadi, Direktur Eksekutif ICT Institute. Ia menilai relaksasi aturan TKDN dapat meruntuhkan industri komponen lokal yang sedang tumbuh.

Banyak pelaku industri kecil dan menengah (IKM) yang menggantungkan pesanan dari produsen besar. Jika pabrik besar tak lagi wajib membeli komponen lokal, membuat Indonesia kembali menjadi pasar, bukan produsen.

Heru juga mengingatkan, data dari Kementerian Perindustrian menunjukkan bahwa saat ini industri elektronik di Indonesia masih menggunakan 80% komponen impor.

Jadi justru kebijakan TKDN dibutuhkan untuk membalikkan dominasi asing ini, bukan malah dikendurkan. Ia menyarankan pemerintah untuk mendorong inovasi lokal seperti pengembangan cip dalam negeri, bukan sekadar merakit. Vietnam telah berhasil melakukannya. Kenapa kita tidak?

Relaksasi TKDN memang terlihat sebagai solusi jangka pendek untuk mendatangkan investor asing atau mempercepat masuknya teknologi baru.

Tapi jika dilakukan tergesa-gesa tanpa mitigasi risiko, maka ia bisa menjadi bumerang. Industri dalam negeri yang dibangun dengan susah payah bisa tergerus, dan cita-cita kemandirian industri tinggal slogan.

Pak Prabowo benar bahwa kita harus realistis. Tapi realisme bukan berarti menyerah pada tekanan global. Realisme sejati adalah tetap teguh membangun fondasi industri yang kuat dan berdaya saing, bukan sekadar membuka keran impor. TKDN bukan sekadar angka. Ia adalah komitmen pada masa depan ekonomi bangsa.

Ayolah, Pak Prabowo. Lihatlah kebijakan TKDN dari perspektif jangka panjang. Relaksasi bisa berbahaya jika tidak dibarengi perlindungan pada industri lokal dan strategi besar untuk inovasi nasional. Kita bisa realistis sekaligus berdaulat, asal tahu jalan mana yang mesti diperjuangkan.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak