Evakuasi Gaza ke Indonesia: Solidaritas atau Legitimasi Penindasan?

Hernawan | Naufal Mamduh
Evakuasi Gaza ke Indonesia: Solidaritas atau Legitimasi Penindasan?
Bendera Palestina berkibar di tengah konflik berkepanjangan (Freepik/ArtisticEyes)

Presiden terpilih Prabowo Subianto pada 9 April 2025 membeberkan rencananya untuk mengevakuasi warga sipil Gaza, Palestina, khususnya perempuan dan anak-anak yatim piatu, ke Indonesia.

Dalam pernyataannya, Prabowo menegaskan bahwa evakuasi ini bukan relokasi permanen, melainkan upaya sementara untuk memberikan perawatan medis kepada para korban perang. Pemerintah bahkan menegaskan bahwa warga Gaza yang dibawa ke Indonesia harus kembali ke tanah kelahirannya setelah pulih.

Namun, sebaik apa pun niat di baliknya, rencana ini tetap menuai kritik dari berbagai pihak, terutama jika dilihat dari perspektif etika politik, sejarah kolonialisme, dan teori negara-rakyat.

Narasi Kemanusiaan yang Menyilaukan

Di permukaan, rencana ini tampak mulia. Presiden Prabowo menyebut bahwa gelombang pertama akan mengevakuasi 1.000 warga Gaza, dengan syarat evakuasi harus disetujui oleh pemerintah Palestina dan negara-negara Timur Tengah. Namun, sejarah telah menunjukkan bahwa narasi kemanusiaan sering kali digunakan untuk menutupi kepentingan geopolitik dan bahkan bisa menyesatkan arah perjuangan suatu bangsa.

Kritik utama bukan terletak pada niat membantu korban perang, tetapi pada bagaimana tindakan semacam ini dapat secara tidak langsung melegitimasi proyek pemusnahan demografis yang dilakukan oleh Israel. Seperti yang dikatakan Edward Said dalam Culture and Imperialism (1993), kolonialisme modern bekerja bukan hanya melalui kekuatan militer, tapi juga melalui narasi-narasi yang mengatur siapa yang disebut korban dan siapa yang punya kuasa atas nasib mereka.

Menghapus Jejak Rakyat Palestina dari Peta

Relokasi sementara pun meski tidak diakui sebagai relokasi permanen harus dibaca secara hati-hati. Jika tidak dikawal dengan ketat, hal ini bisa menjadi celah bagi proyek jangka panjang Israel untuk mengosongkan Gaza dari rakyatnya. Ini sejalan dengan strategi pemindahan penduduk (population transfer) yang secara historis digunakan untuk mengubah demografi wilayah secara paksa.

Benedict Anderson, dalam Imagined Communities (1983), menjelaskan bahwa bangsa terbentuk melalui imajinasi kolektif rakyatnya terhadap tanah, sejarah, dan komunitas politik. Ketika rakyat Palestina dipindahkan dari tanahnya maka terjadi keretakan dalam proses imajinasi tersebut. Apa yang terjadi bila “sementara” itu berubah menjadi “selamanya”? Kita telah melihat banyak preseden semacam itu dalam sejarah pengungsi Palestina sejak 1948.

Solidaritas atau Pengalihan Isu?

Kementerian Luar Negeri RI, lewat pernyataan Menteri Sugiono, menegaskan bahwa evakuasi ini bukan bentuk relokasi seperti yang didorong oleh Israel dan Amerika Serikat. Bahkan Indonesia menolak setiap upaya yang mengubah demografi Gaza. Namun di sinilah letak persoalan: tindakan pemerintah Indonesia tetap bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk melegitimasi pengosongan Gaza, jika tidak dilakukan secara transparan, terbatas, dan dengan pengawasan internasional.

Michael Walzer dalam Spheres of Justice (1983) menekankan bahwa keadilan tidak bisa diterapkan secara seragam tanpa memperhatikan konteks komunitas dan hak-hak historisnya. Evakuasi medis adalah tindakan baik, tetapi ketika itu dilakukan dalam konteks konflik kolonial, maka ia harus berhati-hati agar tidak berubah menjadi alat pengalihan atau bahkan kolaborasi tidak langsung.

Menjaga Tanah, Bukan Meninggalkannya

Solidaritas sejati terhadap Palestina bukanlah dengan memindahkan warganya dari tanah air, melainkan dengan memastikan bahwa mereka dapat tetap hidup, tumbuh, dan berdaulat di tanahnya sendiri. Alih-alih membuka jalan keluar, Indonesia bisa berperan sebagai kekuatan diplomatik yang mendorong gencatan senjata permanen, membuka akses bantuan ke Gaza, dan mendesak pengakuan terhadap hak rakyat Palestina untuk kembali dan membangun negaranya secara utuh.

Satu hal yang patut dihargai dari rencana ini adalah penolakan Indonesia terhadap relokasi permanen. Namun demikian, pemerintah perlu menyadari bahwa niat baik saja tidak cukup. Setiap tindakan harus disertai kesadaran historis dan strategi politik yang matang agar tidak tergelincir dalam narasi kemanusiaan yang melanggengkan penindasan.

Rencana Presiden Prabowo untuk mengevakuasi sementara korban luka-luka dari Gaza perlu dikritisi bukan karena niatnya, melainkan karena potensi dampaknya terhadap perjuangan Palestina. Sejarah telah mengajarkan bahwa banyak solusi “sementara” yang berujung permanen. Maka, Indonesia harus memastikan bahwa langkah ini tidak menjadi legitimasi terselubung atas pengusiran rakyat Palestina dari tanah kelahirannya.

Bila kita sungguh berdiri bersama Palestina, maka sikap kita bukan memindahkan rakyatnya, tetapi memastikan mereka tetap memiliki tanah untuk kembali.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak