Daster Bukan Simbol Kemalasan: Membaca Ulang Makna Pakaian Perempuan

Sekar Anindyah Lamase | Davina Aulia
Daster Bukan Simbol Kemalasan: Membaca Ulang Makna Pakaian Perempuan
Potret Daster (Unsplash/Rhamery)

Daster kerap kali dianggap sebagai simbol kemalasan atau ketidakrapihan, terutama ketika dikenakan oleh perempuan di ruang publik atau bahkan di rumah sendiri.

Stigma ini melekat begitu kuat, seolah-olah kenyamanan yang dipilih perempuan dalam berpakaian harus selalu bisa diterima dan dinilai oleh standar sosial tertentu.

Padahal, di balik kain longgar dan motif bunga-bunga itu, tersembunyi narasi panjang tentang budaya, kelas sosial, peran domestik, hingga bentuk perlawanan terhadap tuntutan estetika yang seringkali tak realistis.

Lantas, mengapa pilihan berpakaian yang sederhana dan fungsional justru kerap direndahkan? Apakah nilai seorang perempuan memang masih sebegitu eratnya ditentukan oleh cara ia berdandan?

Daster dan Narasi Kelas Sosial

Daster sejak lama identik dengan pakaian rumah yang dikenakan oleh ibu rumah tangga atau perempuan dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Harganya yang terjangkau, bahannya yang ringan, dan modelnya yang sederhana menjadikan daster sebagai pilihan utama untuk aktivitas domestik sehari-hari.

Namun, dari sinilah muncul konstruksi sosial yang menempatkan daster sebagai simbol ketidakberdayaan atau keterbatasan ekonomi, sehingga dianggap tidak layak tampil di ruang publik.

Padahal, jika ditelaah lebih dalam, pemakaian daster justru merepresentasikan efisiensi, kenyamanan, dan fungsionalitas. Sayangnya, dalam masyarakat yang masih kerap memandang gaya berpakaian melalui kacamata kelas dan status, kenyamanan sering kali dikalahkan oleh estetika dan penilaian orang lain.

Daster pun akhirnya menjadi simbol yang diremehkan, bukan karena fungsinya, tetapi karena narasi sosial yang sudah lebih dulu dibentuk di sekitarnya.

Perempuan, Penampilan dan Tuntutan Estetika

Perempuan, sejak lama, hidup dalam tekanan untuk tampil sesuai standar kecantikan yang ditetapkan oleh masyarakat seperti harus rapi, wangi, bersolek, dan berpakaian “layak”. Ketika seorang perempuan memilih tampil dengan daster, ia sering kali langsung dicap malas, tidak peduli penampilan, atau bahkan dianggap tidak menghargai orang di sekitarnya.

Penilaian ini muncul bukan karena daster itu sendiri, melainkan karena masyarakat telah membentuk ekspektasi bahwa perempuan harus selalu tampil menarik secara visual.

Hal ini menunjukkan betapa kuatnya relasi antara tubuh perempuan dan kontrol sosial atas penampilannya. Dalam situasi seperti ini, daster bisa dibaca sebagai bentuk perlawanan, di mana perempuan memilih kenyamanan dan kepraktisan alih-alih mengikuti standar yang menguras tenaga, waktu, dan biaya.

Apakah salah jika seorang perempuan ingin merasa nyaman tanpa harus selalu terlihat “siap tampil”?

Membalik Stigma: Daster sebagai Simbol Kendali atas Tubuh Sendiri

Alih-alih simbol kemalasan, daster justru bisa dilihat sebagai simbol agensi, yaitu kemampuan perempuan untuk mengambil kendali atas tubuh dan kenyamanannya sendiri.

Mengenakan daster bisa menjadi keputusan sadar untuk memprioritaskan kebutuhan pribadi, bukan semata-mata memenuhi pandangan atau selera publik. Dalam konteks ini, daster menjadi wujud pembebasan dari tekanan sosial yang menuntut perempuan tampil seragam.

Di media sosial, mulai banyak perempuan yang mengangkat citra daster sebagai bagian dari kebanggaan identitas, bukan rasa malu.

Mereka menunjukkan bahwa daster bisa dikenakan dengan percaya diri, bisa tampil menarik, dan tidak kalah berkarakter dibandingkan pakaian trendi lainnya. Semakin banyak perempuan yang menyadari hal ini, semakin terbuka pula ruang diskusi untuk merekonstruksi ulang makna pakaian dalam kehidupan perempuan modern.

Melalui pemahaman ini, kita diajak untuk tidak lagi menilai perempuan hanya dari cara mereka berpakaian. Daster bukanlah simbol kemalasan atau ketidakpedulian, melainkan cerminan pilihan, kenyamanan, dan kendali atas tubuh sendiri.

Saat kita berhenti mengaitkan nilai seseorang dengan penampilan luar semata, di situlah kita mulai membongkar konstruksi sosial yang sempit terhadap gender dan estetika. Perempuan berhak tampil sesuai keinginan mereka, tanpa harus takut dilabeli atau direndahkan hanya karena memilih pakaian yang sederhana namun bermakna.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak