Danantara dan Semangat Investasi Rp26 Triliun: Profesional atau Spekulatif?

Hayuning Ratri Hapsari | Oktavia Ningrum
Danantara dan Semangat Investasi Rp26 Triliun: Profesional atau Spekulatif?
Ilustrasi Gedung Danantara (Suara.com/Achmad Fauzi)

Di sepanjang Pantura (Pantai Utara) Jawa, ribuan hektare tambak yang dulunya sempat berjaya sekarang malah banyak yang tidak produktif. Data KKP (2025) menunjukkan produktivitas terendah hanya sekitar 0,6ton/ha/tahun.

Jauh di bawah potensinya jika dikelola dengan teknologi modern. Lahan rusak, kualitas air menurun, adanya pendangkalan, dan perubahan iklim seperti kemarau panjang telah membuat banyak petambak frustasi dan beralih profesi.

Ribuan hektare tambak tidur dalam diam. Bukan karena tidak ada yang tahu, tapi karena sudah terlalu banyak yang tahu: tambak-tambak ini tidak lagi produktif. Bukan satu-dua tahun, tapi puluhan tahun. Apa penyebabnya? Banyak.

Pertama, kerusakan lingkungan yang bersifat struktural. Abrasi, pendangkalan, dan penurunan kualitas air membuat banyak lahan tambak tidak layak produksi. Kondisi tambak tradisional yang dikelola tanpa instalasi pengelolaan limbah (IPAL) dan tandon air, membuat pencemaran dan pendangkalan makin parah

Kedua, perubahan cuaca dan iklim memperburuk situasi, membuat panen menjadi makin tidak pasti. Pada musim kemarau, suhu tinggi mencapai 36°C membuat kelangsungan hidup benih udang hanya 60%.

Petambak mau tak mau harus membeli air tawar tambahan agar salinitas tetap stabil—ini menambah biaya operasional. Di sisi lain, harga jual tergantung pasar, sehingga margin keuntungan jadi makin tipis. Ini jugalah yang menjadi alasan ketiga. Biaya produksi tinggi namun pendapatan rendah, yang menjadikan sektor ini secara ekonomi—tidak menarik.

Tambak-tambak itu ditinggalkan bukan karena nelayan malas atau petani tak ingin bekerja. Justru karena mereka sudah berhitung. Di banyak daerah, penambak kini memilih pekerjaan lain yang lebih stabil: dari menjadi buruh bangunan hingga ojek daring. Bukan karena mereka tidak cinta tanah kelahiran, tetapi karena logika ekonomi tak bisa dilawan dengan semangat nasionalisme belaka.

Lalu datanglah kabar mengejutkan: Danantara, Lembaga Pengelola Investasi (LPI) Indonesia, akan menanam investasi hingga Rp26 triliun untuk “menghidupkan kembali” tambak-tambak yang telah lama ditinggalkan itu.

Pertanyaan serius: Sudahkah dilakukan kalkulasi ROI yang masuk akal?

Danantara dibentuk untuk mencari keuntungan bukan untuk menyelamatkan tambak mati jika data lingkungan dan ekonomi menunjukkan sebaliknya.

Padahal sebelum Danantara datang, KKP sendiri sudah menjalankan program revitalisasi dengan uji coba pada 80ha tambak Karawang, mengubah budidaya udang ke nila salin yang lebih ekonomis. Namun program tersebut juga masih menghadapi isu lingkungan serius: limbah pakan, pendangkalan, dan kekhawatiran pemiskinan petambak tradisional. 

Sinyal mengkhawatirkan sudah muncul. Sebelumnya, Danantara juga masuk ke investasi di Garuda Indonesia, maskapai dengan utang menggunung, kinerja yang terus merosot, dan model bisnis yang sudah tak kompetitif secara global. Kini, investasi diarahkan ke tambak-tambak mati di Pantura—yang bahkan petani lokal pun enggan garap lagi.

Ada satu hal penting yang seolah dilupakan: Danantara adalah Sovereign Wealth Fund (SWF). Tugasnya bukan menyelamatkan proyek-proyek usang yang sudah lama terbukti tidak menghasilkan. Tugas SWF adalah mengelola dana negara dengan prinsip investasi jangka panjang yang menguntungkan—bukan menalangi proyek gagal atas nama “nasionalisme”.

Retorika yang membungkus proyek ini jelas: ingin menghidupkan ekonomi desa, menciptakan lapangan kerja, memanfaatkan lahan yang tertidur. Tapi jika masalah dasarnya tidak diselesaikan terlebih dahulu, maka Rp26 triliun itu hanya akan tenggelam bersama air tambak yang keruh dan tidak pernah jernih lagi.

Jangan salahkan rakyat jika nanti bersuara keras. Atau... mungkin tidak bersuara sama sekali. Karena dalam banyak kasus, rakyat kita memang terlalu sering dipaksa mingkem: dibungkam dengan bansos, subsidi, dan narasi pembangunan yang manis tapi kosong.

Kita tidak butuh lembaga pengelola investasi yang gagah di atas kertas, tapi tumpul di lapangan. Kita butuh lembaga yang berpikir rasional, transparan, dan berpihak pada masa depan, bukan pada nostalgia proyek-proyek yang bahkan masa lalu pun sudah enggan menyentuhnya.

Danantara datang dengan dana besar, tapi apakah masalah mendasar—seperti IPAL, distribusi air, kualitas pasokan, dan margin ekonomi petambak—telah diselesaikan? Atau hanya memindahkan tambang yang mati ke tambak yang mati?

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak