Korban Bullying Memilih Bungkam, Ada Sebab Psikologis yang Jarang Disadari

Lintang Siltya Utami | e. kusuma .n
Korban Bullying Memilih Bungkam, Ada Sebab Psikologis yang Jarang Disadari
Ilustrasi korban bullying memilih diam (Pexels/cottonbro studio)

Bullying masih menjadi masalah besar di sekolah, kampus, dunia kerja, hingga media sosial. Namun, yang paling mengkhawatirkan bukan hanya kasusnya melainkan banyaknya korban yang memilih diam.

Mereka memilih untuk menanggung luka sendiri tanpa berani melapor. Diam yang tampak sederhana ternyata menyimpan alasan yang kompleks meski mengalami kekerasan fisik, verbal, maupun psikologis.

Lalu, mengapa korban bullying cenderung tidak bersuara? Apa yang membuat mereka lebih memilih memendam rasa sakit daripada mencari pertolongan? Potensi faktor-faktor yang sering tidak disadari tapi mempengaruhi keheningan para korban bisa jadi alasannya.

Takut Balas Dendam, Alasan Paling Dominan

Ketakutan menjadi faktor terbesar yang membuat korban bungkam. Banyak korban merasa melapor justru membuat pelaku kian agresif, terutama jika pelaku memiliki posisi dominan atau populer di lingkungan tersebut.

Ketakutan ini juga diperkuat ancaman, intimidasi, atau pengalaman sebelumnya ketika korban pernah mencoba melawan tapi tidak membuahkan hasil. Rasa takut akan pembalasan dendam dari pelaku pun jadi alasan paling dominan korban memilih bungkam.

Merasa Tidak Akan Dipercaya Orang

Korban sering kali menganggap suaranya tidak penting atau tidak akan dipercaya. Hal ini diperparah saat lingkungan merespons dengan kalimat meremehkan seperti, “Ah itu cuma bercanda,” atau “Kamu terlalu sensitif.”

Stigma semacam itu membuat korban merasa sendirian dan akhirnya memilih tidak melapor karena takut dianggap pembuat masalah. Alasan ini menjadi bukti bahwa ruang aman bagi korban bullying masih minim dan belum maksimal.

Rasa Malu dan Menyalahkan Diri Sendiri

Banyak korban bullying menyimpan rasa malu mendalam. Bullying yang terjadi berulang dapat membuat mereka merasa hinaan pelaku adalah kebenaran. Dalam kondisi ini, korban cenderung menyalahkan diri sendiri, meyakini mereka memang pantas diperlakukan buruk.

Perasaan tidak layak inilah yang sering membuat korban menutup diri sepenuhnya dari orang lain, termasuk orang terdekat sekalipun.

Learned Helplessness: Ketidakberdayaan yang Dipelajari

Indikasi learned helplessness yang mengarah pada kondisi saat seseorang merasa tidak mampu mengubah situasi karena sebelumnya gagal melawan atau tidak mendapat dukungan juga menjadi alasan kebungkaman korban bullying.

Korban yang telah berkali-kali mengalami penolakan atau pembiaran akhirnya percaya bahwa segala usahanya untuk membela diri dan mencari perlindungan akan sia-sia. Mereka pun akhirnya berhenti mencari pertolongan dan memilih diam.

Rasa Takut Korban Andai Menjadi Pusat Perhatian

Ironisnya, upaya pihak luar untuk mengulurkan bantuan kadang membuat korban semakin takut. Tidak sedikit yang enggan melapor karena khawatir kasus akan menjadi sorotan besar, entah itu dipanggil guru, atasan, membuat panik keluarga, hingga menjadi bahan pembicaraan umum.

Bagi korban bullying, perhatian publik justru terasa menekan dan memicu kecemasan. Padahal mereka sendiri tengah bergulat dengan masalah psikologis yang dirasakan pasca mendapat perundungan yang berlangsung berulang-ulang.

Budaya Lingkungan yang Membenarkan Perundungan

Banyak korban terjebak dalam lingkungan yang menormalisasi perilaku bully. Mulai dari alasan “cuma bercanda”, “tradisi senioritas”, hingga pembenaran bahwa bullying adalah bagian dari proses membangun mental.

Normalisasi ini membuat korban ragu apakah yang mereka alami termasuk bullying atau sebatas candaan. Alih-alih melapor, mereka memilih membiarkan perilaku tersebut karena takut dianggap tidak bisa menyesuaikan diri.

Korban Tidak Tahu Cara Melapor

Minimnya edukasi tentang mekanisme pelaporan juga menjadi hambatan pengungkapan kasus bullying. Banyak korban tidak tahu harus bercerita kepada siapa, bagaimana cara menyampaikan, atau apakah laporan mereka akan ditindaklanjuti.

Ketidakjelasan ini membuat korban merasa kehilangan arah dan akhirnya memilih diam. Hanya saja, diamnya korban bully bukan sambil melawan, tapi malah semakin tersiksa dengan sikap pelaku yang terus berulang.

Trauma yang Menghambat Korban Bicara

Bullying dapat menimbulkan trauma yang membuat korban kesulitan mengolah emosi. Mereka kesulitan mengambil keputusan, atau bahkan sekadar mencari bantuan.

Respons trauma inilah yang membuat korban “membeku” dan menarik diri dari lingkungan sosial. Diam bagi mereka terasa seperti bentuk perlindungan diri terakhir yang bisa dilakukan.

Pahami Sudut Pandang Korban, Tangani Bullying Segera

Memahami sudut pandang korban bullying yang memilih diam menjadi langkah penting untuk menciptakan lingkungan yang benar-benar aman. Sekolah, kampus, tempat kerja, dan keluarga seharusnya menjadi garda terdepan dalam mengantisipasi bullying.

Lingkungan harus mampu menyediakan saluran pelaporan yang aman dan rahasia, tidak menyalahkan korban, sekaligus memberikan dukungan emosional tanpa menghakimi pada korban bullying.

Di sisi lain, kampanye membangun budaya antibullying juga harus digalakkan sejak dini. Institusi juga perlu memastikan bahwa setiap laporan ditindaklanjuti secara profesional, bukan sekadar formalitas.

Ingat, keputusan korban bullying untuk diam bukanlah tanda mereka kuat atau menerima keadaan, tetapi cerminan dari lingkungan yang tidak cukup aman untuk mendukung mereka. Ketakutan, rasa malu, trauma, hingga normalisasi bullying jadi alasan utama kebungkaman mereka.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak