Tidak semua orang di pesisir tumbuh dengan cerita tentang konservasi. Di Bajulmati, Malang Selatan, penyu dulu lebih sering hadir sebagai makanan daripada satwa yang harus dijaga. Ia datang ke pantai, bertelur, lalu pergi atau tidak pernah pergi sama sekali. Bagi sebagian warga, itu adalah hal biasa. Laut memberi, manusia mengambil.
Sutari tumbuh dalam cara pandang seperti itu. Sebagai nelayan, ia mengenal laut sebagai ruang mencari hidup. Penyu, sama seperti ikan, adalah bagian dari hasil tangkapan. Ia pernah menangkap penyu, mengambil telurnya, bahkan menganggapnya sebagai tambahan pangan keluarga. Tidak ada rasa bersalah, karena hampir semua orang melakukan hal yang sama.
“Dulu itu nggak kepikiran kalau penyu bisa habis,” katanya suatu kali. “Yang penting dapat makan.”
Namun perubahan tidak selalu datang dari larangan atau hukuman. Di Bajulmati, perubahan justru lahir dari pengamatan sederhana. Sutari mulai menyadari, penyu yang naik ke pantai semakin jarang. Sarang yang dulu mudah ditemukan, kini sering kosong. Tukik-tukik kecil banyak yang mati sebelum mencapai laut. Ada rasa ganjil yang perlahan tumbuh, seolah laut sedang kehilangan sesuatu.
Kesadaran itu membuat Sutari berhenti. Ia tidak lagi menangkap penyu. Ia mulai melakukan hal yang berlawanan: menjaga. Setiap kali menemukan telur penyu di pantai, ia memindahkannya ke tempat yang lebih aman. Dengan alat seadanya dan pengetahuan yang masih terbatas, ia mencoba menetaskan telur-telur itu sendiri. Tidak semua berhasil. Tapi dari kegagalan itu, ia belajar.
Langkah kecil itu menjadi awal perubahan besar. Dari satu orang yang memilih berhenti merusak, lahirlah upaya pelestarian yang perlahan melibatkan banyak pihak. Dukungan mulai datang, dari komunitas pecinta lingkungan, pemerintah daerah, hingga relawan yang datang silih berganti. Kawasan konservasi pun berkembang dan dikenal sebagai Bajulmati Sea Turtle Conservation (BSTC).
Hari ini, suasana pesisir Bajulmati terasa berbeda. Ketika penyu naik ke pantai, warga tidak lagi berebut mengambil telur. Mereka justru saling mengabari. Menjaga sarang menjadi tanggung jawab bersama. Anak-anak ikut terlibat, belajar mengenali penyu bukan sebagai makanan, melainkan sebagai makhluk hidup yang perlu dilindungi.
Salah satu momen paling berkesan adalah pelepasan tukik. Ratusan anak penyu dilepas ke laut, bergerak perlahan menuju ombak pertama mereka. Orang-orang berdiri di tepi pantai, sebagian merekam, sebagian lagi hanya diam. Seorang anak kecil tiba-tiba berteriak, “Jangan makan plastik ya!” Kalimat sederhana itu menggambarkan betapa cara pandang generasi baru mulai berubah.
BSTC tidak hanya fokus pada penyu. Warga bersama relawan juga menanam mangrove untuk mencegah abrasi dan menjaga ekosistem pesisir. Laut, pantai, dan hutan mangrove dipahami sebagai satu kesatuan. Jika salah satunya rusak, yang lain akan ikut terdampak.
Penyu sendiri memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan laut. Mereka membantu merawat padang lamun, terumbu karang, hingga menyuburkan pasir pantai. Kehilangan penyu berarti kehilangan salah satu penjaga alami ekosistem pesisir. Kesadaran inilah yang kini terus disebarkan baik melalui cerita, pengalaman langsung, dan keterlibatan warga.
Bagi saya, kisah Sutari bukan sekadar cerita tentang konservasi. Ini tentang keberanian mengakui kesalahan dan memilih berubah. Tentang bagaimana seseorang yang dulu ikut merusak, justru menjadi orang yang paling keras menjaga. Pesisir mengajarkan bahwa hubungan manusia dengan alam tidak hitam-putih. Ia penuh proses, jatuh bangun, dan pembelajaran.
Sutari tidak menyebut dirinya pahlawan. Ia hanya melakukan apa yang menurutnya benar hari ini, meski berbeda dengan masa lalu. “Kalau kita ambil dari laut, ya harus ada yang kita balikin,” katanya.
Setiap tukik yang berhasil mencapai laut membawa harapan, bahwa suatu hari mereka akan kembali ke pantai ini untuk bertelur. Bahwa cerita pesisir Bajulmati tidak berhenti pada kerusakan, tapi terus bergerak menuju pemulihan.
Cerita ini mengingatkan kita: menjaga alam tidak selalu dimulai dari pengetahuan tinggi atau fasilitas lengkap. Ia bisa dimulai dari satu keputusan sederhana yakni berhenti mengambil, lalu mulai menjaga. Dari pesisir kecil di selatan Malang, kita belajar bahwa perubahan selalu mungkin, selama ada kemauan untuk mendengarkan alam dan berjalan bersama.
