Jepang mempunyai satu konsep yang terkenal dengan nama wabi sabi. Konsep tersebut merupakan sebuah istilah yang melihat keindahan dalam ketidaksempurnaan. Mindful-company menjelaskan bahwa konsep tersebut mengajarkan tiga realitas dalam hidup, yakni dalam hidup ada banyak hal yang tidak selesai, tidak bertahan lama, dan tidak sempurna. Di Jepang, konsep ini semakin populer. Apa sebenarnya wabi sabi? Dilansir dari laman Tsunagujapan, berikut ini penjelasannya.
Apa Itu Wabi Sabi?
Wabi sabi dibentuk oleh dua kata, yaitu Wabi dan Sabi. Wabi berarti kepahitan, kesedihan dan pengurangan kemiskinan. Sementara itu, Sabi berarti sesuatu yang kurang bersemangat atau kemerosotan. Definisi dua kata ini membangkitkan nada melankolis, tapi di sisi lain membangkitkan kehangatan dalam hidup.
Nah, sementara filsuf Alan Watts mengartikan Wabi sebagai penghargaan atas kesederhanaan atau keadaan alami, istilah Wabi juga dari ditemukan dalam buku The Book of Tea karya Kazuo Okakura. Buku yang menggambarkan tentang teh itu menjelaskan ketidaksempurnaan atau ketidaklengkapan, tapi masih punya harapan diperbaiki. Buku tersebut menjelaskan penerimaan yang mendasari ketidaksempurnaan itu. Konsep wabi dalam dunia teh berkaitan dengan wabi-cha, satu jenis upacara minum teh.
Sementara itu, sabi diambil dari kata "Sabiru" yang berarti kehilangan atau memburuk dari waktu ke waktu. Ini bukanlah hal yang buruk sebab menyiratkan sesuatu yang akrab dan hangat. Seiring waktu kata sabi sering diasosiasikan dengan tempat-tempat yang sunyi dan sekarang diartikan sebagai kesunyian yang tenang sehingga seorang individu bisa mengamati dunia.
Hubungan Antara Wabis Abi dengan Ajaran Buddha, Haiku, dan Keindahan dari Ketidakkekalan
Wabi sabi mempunyai hubungan Buddhisme Zen yang tercermin dari haiku, puisi Jepang. Seorang penyair Jepang, Matsuo Basho, pernah menjelaskan tentang konsep wabi sabi dalam puisinya. Basho mengungkap bahwa ada perasaan tertentu yang mengekspresikan kesendirian, keindahan alam, waktu yang berlalu, dan hidup akan terus berubah.
Perasaan seperti ini memiliki ikatan dengan ajaran Buddha yang membahas mengenai kehidupan. Dalam ajaran ini dijelaskan tentang konsep ketidakkekalan, kekosongan, dan penderitaan. Kita diajarkan untuk menemukan daya tarik dari konsep tersebut dan menikmati kedamaian dari rasa legowo, alih-alih mengasihani diri dan merana.
Kecantikan Wabi sabi, Kintsugi, dan Nafas Baru di Kehidupan
Wabi sabi mempunyai hubungan dengan budaya teh di Jepang. Dalam upacara minum teh, cangkir dan mangkuk menjadi bagian yang penting. Ketika dihadapkan dalam tembikar yang pecah, orang barat biasanya langsung membuang pecahan-pecahan tembikar tersebut. Namun, orang Jepang dengan pikiran wabi sabi-nya mengambil pikiran pecahan tembikar tersebut dan memperbaikinya dengan proses Kintsugi. Kintsugi adalah memperbaiki cangkir atau mangkuk teh yang pecah dengan lapisan emas sehingga tampak lebih cantik.
Kintsugi disebut sebagai manifestasi wabi sabi yang paling tepat. Tindakan memperbaiki retakan dengan logam mulia membuktikan kehidupan yang bisa diperbaiki kembali. Alih-alih menyembunyikan retakan dan ketidaksempurnaan itu, Kintsugi malah membuatnya jadi lebih menarik. Mangkuk teh atau cangkir yang telah diperbaiki dengan proses Kintsugi sering kali menjadi lebih mahal dari bada mangkuk atau cangkir yang baru.
Karena adanya Kintsugi, para pengrajin bahkan sering kali sengaja memecahkan mangkuk dan cangkir mereka untuk menghasilkan motif retakan khas.