Lagu bisa menjadi jembatan paling jujur menuju perasaan. Dan itulah yang dilakukan Musikal Untuk Perempuan.
Mereka menghidupkan cerita persahabatan perempuan lewat lagu-lagu dari Kunto Aji dan Nadin Amizah yang akrab di telinga, tapi terasa baru saat dinyanyikan dalam panggung teater.
Dipentaskan oleh ASKARA sebagai proyek musikal perdana mereka, Musikal Untuk Perempuan hadir dalam rangka Hari Kartini.
Ia tidak bicara soal pahlawan nasional secara langsung, tetapi lebih pada bentuk penghormatan yang intim dan relevan yakni menyoroti cerita tiga perempuan yang bertahan dan tumbuh bersama di tengah kerasnya hidup di Jakarta.
Di balik kisah tersebut, ada kekuatan emosional yang dibangun dengan sangat personal lewat musik. Lagu-lagu seperti Konon Katanya, Pilu Membiru, Semua Aku Dirayakan, hingga karya lain dari Kunto Aji dan Nadin Amizah tak hanya dijadikan latar, tapi menjadi bagian utuh dari alur cerita. Pilihan ini bukan tanpa alasan.

“Lagu-lagu mereka punya kedalaman dan narasi yang sangat sesuai. Liriknya menggambarkan perasaan yang sering tidak bisa diucapkan dengan dialog biasa,” jelas CEO dan produser ASKARA, Adinda Nindyachandra, dalam konferensi pers pada Jumat (11/04/2025).
Kehadiran musik dalam musikal ini bukan hanya sebagai hiasan atau selingan, melainkan menjadi alat untuk memperdalam hubungan antar karakter, menggambarkan konflik batin, dan mengekspresikan kelelahan yang kerap dirasakan perempuan. Alih-alih hanya menggambarkan perempuan kuat, musikal ini juga memberi ruang pada rasa lelah dan rapuh yang valid dan manusiawi.
Disutradarai oleh Lizzie Chan dan ditulis bersama Ajeng Sharfina, Musikal Untuk Perempuan berkisah tentang Diandra, Namira, dan Lintang sahabat lama yang di usia 30-an mencoba mewujudkan mimpi membangun bisnis bersama.
Di sepanjang perjalanan, mereka menghadapi berbagai tantangan: dari perbedaan visi, tekanan sosial, hingga dominasi laki-laki dalam dunia kerja.
“Kita pengen angkat cerita yang dekat banget dengan keseharian perempuan, terutama di usia dewasa awal. Inspirasi datang dari obrolan dan pertemanan kita sendiri,” ujar Ajeng.
Lagu-lagu Kunto dan Nadin menjadi benang merah yang menghubungkan fragmen emosi dalam cerita. Ketika Lintang mulai merasa ragu, ketika Namira kelelahan menjalani tuntutan keluarga, atau ketika Diandra merasa gagal, musik hadir sebagai penguat narasi—mewakili suara hati yang sulit diucapkan dengan kata-kata.
Yang menarik, musikal ini tidak eksklusif untuk perempuan. Meski temanya berfokus pada pengalaman perempuan, ASKARA berharap siapa pun—terlepas dari gender atau latar belakang—bisa menonton dan memahami.
Tiga karakter laki-laki, yakni Airlangga, Salim, dan Jeki Cen, juga hadir sebagai figur suportif—menampilkan sosok laki-laki “green flag” yang jarang ditampilkan dalam cerita populer.
“Musikal ini kami dedikasikan untuk siapa pun yang pernah merasa tidak cukup. Kami ingin bilang, menjadi perempuan saja sudah cukup, apapun peranmu,” kata Adinda.
Musikal Untuk Perempuan akan dipentaskan pada 26–27 April 2025 di Teater Salihara, Jakarta Selatan. Bagi penggemar musik Kunto Aji dan Nadin Amizah, ini bisa jadi cara baru menikmati lagu-lagu mereka—dalam bentuk cerita yang hidup, menyentuh, dan membekas.
Sejarah Hari Kartini
Peringatan Hari Kartini dimulai sejak 2 Mei 1964, ketika Presiden Soekarno menetapkan 21 April sebagai hari besar nasional melalui Keppres No.108 Tahun 1964. Kartini juga diakui sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Raden Ajeng Kartini lahir pada 21 April 1879 di Jepara dari keluarga bangsawan Jawa. Ayahnya adalah Bupati Jepara, R.M. Adipati Ario Sosroningrat, dan ibunya, M.A. Ngasirah. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, dikenal sebagai salah satu bupati pertama yang menyekolahkan anak-anaknya dengan pendidikan Barat.
Kartini sempat bersekolah di Europese Lagere School (ELS) dan belajar bahasa Belanda. Namun, ia harus berhenti saat memasuki masa pingitan. Di masa inilah Kartini mulai menulis dan berkirim surat dengan sahabat pena dari Belanda, seperti Rosa Abendanon. Salah satu tulisannya yang dimuat di majalah Holandsche Lelie terbit saat ia baru berusia 14 tahun.
Kartini kemudian dinikahkan dengan Bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Meski suaminya pernah memiliki tiga istri, ia mendukung Kartini mendirikan sekolah untuk perempuan.
Setelah menikah, cakrawala berpikir Kartini semakin terbuka. Dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon, ia menulis:
“...saya jauh lebih banyak lagi menjadi tahu tentang hal-hal yang mula-mula tidak saya ketahui. Bahkan tidak saya duga, bahwa hal itu ada.” (10 Agustus 1904)
Kartini wafat pada 17 September 1904, empat hari setelah melahirkan anaknya, Soesalit Djojoadhiningrat, dalam usia 25 tahun. Meski singkat, hidup Kartini meninggalkan warisan pemikiran yang abadi untuk perjuangan perempuan Indonesia.
Penulis: Kayla Riasya Salsabila