Menjadi Panic Buyer karena Corona, Kapitalisasi dalam Wabah

Tri Apriyani | megarekha
Menjadi Panic Buyer karena Corona, Kapitalisasi dalam Wabah
Ilustrasi panic buying. [Shutterstock]

Setiap manusia menyematkan resolusi terbaiknya saat memasuki momen tahun baru, banyak harapan yang lahir seiring dengan bertambahnya angka di dalam tahunan masehi. Namun siapa sangka, banyak pula hal tidak terduga yang tiada habisnya mengejutkan kita, seperti dari awal tahun ini.

Dunia digemparkan dengan virus yang menyerang manusia. Fatalnya, virus ini dapat membunuh manusia. Virus ini berasal dari kota Wuhan, di China yang kemudian diberi nama SARS-CoV-2 atau yang kita kenal dengan coronavirus.

Virus yang bermula di China ini, kini telah menyerang di beberapa negara besar seperti Italia, Amerika, Spanyol, Jerman dan negara-negara besar lainnya. Sejauh ini per tanggal 23 Maret 2020 coronavirus telah terdeteksi sebanyak 336.838 kasus di seluruh dunia dengan total kematian 14.616 jiwa.

Bahkan negara tercinta kita Indonesia juga kena imbasnya dengan 514 kasus dan kematian 48 jiwa, menjadikan Indonesia sebagai tingkat kematian tertinggi akibat coronavirus melebihi presentasi global.

Indonesia pertama kali mengumumkan penyebaran coronavirus pada tanggal 2 Maret 2020. Mungkin kita tidak akan pernah menduga bahwa 2 orang awal yang menjadi korban coronavirus kini telah mencapai jumlah 514 dalam kurun waktu 20 hari saja.

Hal ini diumumkan Presiden Joko Widodo bahwa ada 2 pasien yang positif terdeteksi COVID-19 di Depok, diduga setelah bertemu dengan warga asal Jepang yang sehabis singgah dari Malaysia. Kasus COVID-19 di Indonesia begitu pesat di Indonesia hal ini tentu sangat berdampak negatif terhadap segala aspek sosial dan interaksi masyarakat Indonesia.

Terjadi banyak polemik setelah Indonesia terus memberikan kabar tentang perkembangan COVID-19 di Indonesia. Kejadian ini menuai banyak reaksi dari bermacam-macam kalangan masyarakat. Hal ini berdampak pada berbagai ranah, seperti diliburkannya sekolah, peruguruan, dan instansi.

Pemerintah sendiri sampai saat saya menulis ini belum menyebarkan info pasti terkait permasalahan lock down. Hanya anjuran untuk social distancing. Hal ini dilakukan guna meminimalisir jumlah kasus COVID-19 yang ada di Indonesia, tentu hal yang kita lakukan saat ini seharusnya adalah mengikuti regulasi dan anjuran yang ada agar situasi membaik atau mungkin kita bisa duduk di rumah dan berharap bahwa esok hari akan menjadi hari yang baik-baik saja.

Permasalahan virus corona tidak hanya sampai disitu. Saat pertama kali presiden Jokowi menetapkan kasus coronavirus di Indonesia, terjadi banyak polemik di kalangan masyarakat Indonesia.

Tentu peran media sosial di sini sangat penting untuk menyaring informasi yang ada, menjadi sebuah kekuatan sinergitas positif dan optimistik untuk masyarakat Indonesia, nyatanya justru banyak faktor yang tidak diharapkan terjadi.

Banyaknya isu yang beredar dan berita yang simpang siur membuat seluruh warga Indonesia memillki rasa takut yang berlebihan. Hal ini memicu kepanikan dan stigma di masyarakat bahwa coronavirus sangat mengerikan hingga menimbulkan kematian karena belum ada solusi dari penyebaran virus ini.

Hal itu akan terus berlanjut dan akan menjadi kegelisahan semua orang. Terlebih lagi melihat beberapa orang yang berbondong-bondong pergi ke minimarket terdekat, memborong semua stock makanan, perobat-obatan, bahkan masker. Fenomena ini disebut dengan panic buying.

Fenomena panic buying ini seringkali kita temui, di sekitar kita atau bahkan di media sosial. Sadar atau tidak sadar fenomena panic buying ini justru merugikan pihak yang lebih membutuhkan.

Banyak oknum yang kemudian memanfaatkan hegemoni coronavirus untuk mengkapitalisasi barang-barang kebutuhan pokok, hal ini tentu merugikan dan sangat tidak bermoral.

Bagaimana tidak, saya ambil contoh tentang bagaimana oknum membeli banyak sekali persediaan masker lalu menjual kembali dengan harga yang tidak masuk akal.

Dalam kasus ini penjual memanfaatkan fenomena panic buying ini untuk keuntungan pribadi semata. Tidak hanya masker, semua bahan anjuran pemerintah untuk digunakan seperti hand sanitizer juga lenyap diborong sekelompok orang-orang yang tidak peduli dan menjual moral demi modal.

Sangat miris melihat fenomena ini, di mana negara lain berlomba-lomba saling menguatkan, justru kita di sini saling menjatuhkan. Menurut saya, hal ini justru tidak akan pernah selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan, oknum-oknum kapitalisasi ini seperti menginjak-nginjak moral dan meludahi etika.

Fenomena ini terjadi di Indonesia, percaya atau tidak. Lalu beberapa berita muncul di media sosial. Berita tersebut mengatakan bahwa kita sedang dilanda kepanikan, barang persediaan masker seharusnya digunakan untuk orang-orang yang sedang terjangkit penyakit, tenaga medis dan terduga pasien COVID-19, bukan justru orang-orang yang masih tergolong secara fisik, jauh dari gejala COVID-19.

Maka dari itu sebaiknya dan sebijaknya kita adalah bagaimana tidak memanfaatkan kesempatan sebagai keuntungam pribadi, prinsip mengatakan kejahatan terjadi karena adanya kesempatan dan kesempatan ini dimanfaatkan oleh oknum penimbun masker.

Apa dampak yang terjadi jika ini terus berjalan? Akan ada kekurangan kebutuhan masker bagi sekelompok orang yang sedang sakit, sehingga potensi penyebaran semakin banyak. Akan ada tenaga medis yang kekurangan masker, sehingga potensi penyebaran semakin banyak.

Akan ada orang-orang yang terpaksa bekerja diluar sana karena belum terbinanya kebijakan work from home kekurangan masker sehingga potensi penyebaran semakin banyak. Yap, potensi penyebaran akan semakin banyak, dan itu semua bisa terjadi, jika kita melakukan hal yang dicontohkan oknum penjual dan penimbun ketersediaan barang.

Lalu apa yang harus kita lakukan? Yang pertama adalah dengan tidak menjual barang-barang yang menjadi sumber perlindungan manusia terhadap COVID-19 demi keuntungan semata.

Lalu ikuti anjuran pemerintah, social distancing, jaga diri dari dunia luar agar kita tidak termasuk kedalam potensi penyebaran, banyak hal yang bisa kita lakukan saat social distancing.

Membuka lembaran buku usang yang tak sempat kita baca, menonton film romansa yang tidak habis karena kita sibuk dengan nuansa dunia luar, mendekatkan diri pada keluarga berbicara bahwa anda sedang rindu indahnya dunia yang selalu membawa cerita atau anda bisa diam dan dengan secangkir kopi, membuat pena menari lalu merangkai diksi menjadi acara.

Kita semua hanya bisa berdiam diri di rumah, membuka dan membaca berita, berdoa agar angka penyembuhan terus bertambah dan angka kematian tetap statis.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak