Akhir-akhir ini Indonesia digemparkan dengan akan diterapkannya kebijakan New Normal, segala bentuk aktivitas sudah mulai dibuka seperti tempat beribadah, mall, pasar, perkantoran dan transportasi sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.
New normal belum berlaku dan saat ini masih dalam kebijakan PSBB, akan tetapi total reaktif Covid-19masih terus berjalan. Kelonjakan yang begitu meningkat sampai menginjak angka seribu, akibat sudah mulai dibukanya segala aktivitas.
Jika dilihat dari peningkatan reaktif Covid-19 di Indonesia terlalu dini untuk menerapkan kebijakan New Normal, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menyatakan bahwa kebijakan New Normal yang akan diterapkan pemerintah terlalu dini.
Pemerintah belum mampu untuk mengendalikan penyebaran Covid-19, karena kurva positif belum melandai, bahkan kurva positif masih meningkat dan sudah menginjak angka seribu.
Disampaikan juga oleh Dosen Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, Dr. Panji Hadisoemarto MPH menyatakan bahwa “Keputusan New Normal harus diberlakukan setelah asesmen bukan sebelum asesmen,"
Panji pun menyatakan bahwa Kebijakan New Normal tidak bisa diberlakukan untuk seluruh wilayah Indonesia, “keputusan harus mempertimbangkan data yang ada disetiap daerah, dengan kondisi dan keadaan yang berbeda-beda.”
Tetapi berbeda dengan Anggota DPR Deddy Yevri Sitorus, beliau merespon dengan baik upaya pemerintah untuk menerapkan kebijakan New Normal, menurutnya “New Normal adalah upaya menyelamatkan hidup warga dan menjaga agar negara tetap bisa berdaya menjalankan fungsinya”.
Dengan kebijakan tersebut akan membuka kembali aktivitas ekonomi, sosial dan kegiatan public dengan mengikuti protokol sesuai kesehatan.
Negara sangat berperan aktif dan banyak menggelontorkan dana untuk menangani shock Covid-19, sudah hampir tiga bulan Indonesia menjalani hari-hari dengan stay at home, work from home sehingga mengakibatkan perlambatan perekonomian serta pendapatan negara.
Dilansir dari www.kemenkeu.go.id Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa “pendapatan negara dan hibah pada akhir Triwulan I 2020 telah mencapai Rp. 375,95 Triliun. Capaian pendapatan negara telah tumbuh sebesar 7,75%. Namun demikian, melihat refleksi penerimaan negara di bulan Maret yg tumbuh 7,7% terlihat cukup baik dibandingkan tahun lalu yang tumbuh 4,46%, meskipun basis supporting-nya bukan basis ekonomi secara luas. Ungkap menkeu.
Hal ini menunjukkan dukungan berbagai sumber pendapatan negara dalam upaya memperkuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di tengah tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Realisasi Pendapatan Negara yang bersumber dari Penerimaan Perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) masing-masing secara nominal telah mencapai Rp279,89 triliun dan Rp95,99 triliun. Sementara itu, realisasi dari Hibah pada periode yang sama baru mencapai Rp0,08 triliun. Penerimaan Perpajakan dan PNBP tumbuh masing-masing sebesar 0,43% dan 37%.
Kemudian, seiring adanya aturan terkait Work From Home (WFH) baik untuk sektor pemerintah maupun sektor swasta, maka mulai terjadi perlambatan kegiatan usaha di akhir bulan Maret 2020 yang berpotensi menurunkan penyerahan dalam negeri yang kemudian akan menekan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai Dalam Negeri (PPN DN) di bulan April 2020.
Kondisi tersebut kemungkinan akan berlanjut dan semakin terkontraksi di bulan Mei, mengingat di bulan April sebagian daerah sudah melaksanakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa wilayah terdampak.
Sejalan dengan penerapan WFH dan PSBB tersebut, Pemerintah memberikan fasilitas perpajakan berupa relaksasi pembayaran PPh Pasal 29 OP dan pelaporan SPT PPh OP, yang mana berimbas pada belum optimalnya realisasi penerimaan PPh Pasal 29 OP.
Kebijakan Work From Home, Stay At Home dan PSBB telah memperlambat pendapatan negeri lebih lagi dari sektor perpajakan. Sri Mulyani pun memprediksi bahwa pendapatan negara akan mengalami penurunan sebesar 10%.
Sebab, sepanjang Covid-19 sampai di Indonesia, pemerintah telah banyak menggelontorkan dana insentif pajak besar-besaran untuk mendukung dunia usaha dan pribadi yang terdampak perlambatan perekonomian akibat Covid-19. Akibatnya pemerintah mengalami defisit.
Dari sisi perpajakan, sejumlah insentif yang degelontorkan pemerintah untuk badan usaha antara lain penurunan Pajak Penghasilan (PPh) Badan dari 25% menjadi 22% untuk tahun pajak 2020 dan 2021. Sementara di tahun 2022, tarif PPh Badan kembali turun menjadi 20%.
Maka dari itu pemerintah berupaya untuk menaikan kembali pendapatan negara agar tidak semakin menurun dan masih bisa berjalan roda perekonomian dengan baik disaat masa pandemik Covid-19. Dengan menerapkan kebijkan New Normal diharapkan bisa memperbaiki perekonomian yang tertekan akibat Covid-19.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto mengatakan bahwa “kebijakan New Normal bertujuan agar roda perekonomian masyarakat bisa produktif kembali namun tetap aman sesuai protokol kesehatan dan dapat memperbaiki kondisi ekonomi nasional”. Airlangga Hartanto menambahkan bahwa masyarakatpun harus patuh terhadap kesehatan sehingga dapat memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Diungkapkan pada saat Halal Bihalal.
Airlangga pun menyampaikan hal serupa dengan Sri Mulyani bahwa pada saat Covid-19 Indonesia mengalami penurunan perekonomian. Melihat kondisi tersebut, menurut Airlangga, maka harus dilakukan restart engine ekonomi. Hal tersebut diperlukan agar Indonesia bisa menahan yang terkena PHK dan menahan kondisi masyarakat yang berada di near poor menjadi poor.
Dari segi makro ekonomi, Airlangga juga melihat kepercayaan pasar terhadap Indonesia dan terhadap kebijakan yang diambil pemerintah adalah positif.
"Kita harus menjaga perekonomian nasional dan mengutamakan produksi nasional dan menjaga daya beli masyarakat agar jangan dimanfaatkan oleh importir yang akan menguntungkan negara lain," ungkapnya.
Oleh: Dahlia Tsalsalaila/Mahasiswa S1 Pendidikan Ekonomi 2018, Universitas Negeri Jakarta