Pemberlakuan PSBB dan WFH berdampak pada perekonomian masyarakat karena daya beli masyarakat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi menurun.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflansi bulanan per April 2020 mencapai 0,08 persen yang mengindikasikan penurunan permintaan bahan pangan serta penurunan daya beli masyarakat selama pandemi.
Khususnya pada bidang perbankan, beberapa rumah tangga atau perusahaan melakukan investasi serta konsumsi yang lebih baik tidak dapat dilakukan dengan dana sendiri. Oleh karena itu, ketersediaan kredit memegang peranan penting pada sektor ekonomi, dimana pembiayaan perekonomian nasional merupakan motor penggerak pertumbuhan ekonomi (Diah et al, 2012).
Menanggapi hal tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan kebijakan relaksasi kredit, yakni pemberian relaksasi kredit bagi UMKM di bawah Rp10 miliar guna meminimalisir dampak pandemi baik untuk sektor perbankan maupun industri keuangan non bank.
Juru Bicara OJK, Sekar Putih Djarot, menyatakan bahwa kebijakan ini memberikan keringanan guna menurunkan suku bunga, perpanjangan jangka waktu, pengurangan atas tunggakan pokok, pengurangan tunggakan bunga, penambahan fasilitas kredir atau pembiayaan, konversi kredit menjadi Penyertaan Modal Sementara dana/atau lainnya berdasarkan kesepakatan baru.
Lebih lanjut, beliau menyatakan keringanan pembayaran kredit tidak berlaku otomatis. Namun, debitur perlu mengajukan permohonan atas keringanan cicilan pada pihak kreditur.
Kebijakan relaksasi kredit hadir sebagai stimulus fiskal guna mendorong produksi manufaktur sebagai usaha padat karya. Hal ini secara langsung menjaga pendapatan pekerja di tengah Pandemi.
Melirik dari negara lain, Hongkong memberlakukan penurunana kewajiban minimum pemenuhan countercyclical buffer (CCyB) 1 persen, serta debitur Usaha Menengah Kecil (UMK) dan individu terdampak COVID-19. Kemudian, Malayasia menurunkan NSFR minimum menjadi 80 persen, LCR diperbolehkan kurang dari 100 persen, dan pencatatan cadangan kerugian kredit debitur terdampak maksimal 5 tahun atas persetujuan BSP (liputan6.com, 2020).
Ekonom PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, Kiryanto, menyatakan bahwa kebijakan ini berguna dalam meringankan beban baik perusahaan pembiayaan (kreditur) maupun pengusaha atau masyarakat (debitur).
Kemudian, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) menilai relaksasi kredit merupakan kebijakan positif, artinya baik kreditur maupun debitur dapat saling membantu sehingga perekonomian tidak jatuh lebih dalam.
Namun di sisi lain, dua kemungkinan yang menjadi tantangan relaksasi kredit di tengah Pandemi, yaitu 1) PSBB dan WFH mempersulit pemrosesan sekaligus persetujuan kedua belah pihak kreditur dan debitur, dan 2) Potensi moral hazard, dimana debitur dapat memanfaatkan keadaan atas urgensi peminjaman uang dan kreditur memiliki kepentingan tertentu untuk keuntungan tertentu.
Dengan demikian, guna menyelamatkan kondisi perekonomian di tengah pandemi, umumnya setiap negara memberlakkan relaksasi dalam stimulus ekonomi, relokasi anggaran pada sektor kesehatan, pasokan pangan, serta daya beli masyarakat.
Kebijakan relaksasi kredit menjadi salah satu harapan sektor perbankan pada dunia usaha untuk mampu bertahan sembari menunggu kebijakan pemerintah selanjutnya dalam menghalau dampak COVID-19.